Monday, June 16, 2014

MUSEUM TSUNAMI ACEH

 Keberadaan Museum Tsunami Aceh sebagai museum kebanggaan masyarakat Aceh dan dunia atas kebangkitan masyarakat Aceh, selain menjadi simbol kekuatan dan kesabaran masyarakat Aceh dalam menghadapi bencana Tsunami, juga menjadi Icon Pariwisata Tsunami Aceh ke depan. Museum yang dibangun melalui pendekatan arsitektur yang bernuansa Islami dan budaya Aceh dengan konsep dan design "Rumoh Aceh as escape hill" memiliki berbagai koleksi peninggalan Tsunami, media berbagi pengalaman bencana dan pengetahuan kebencanaan (geologi) telah menjadi pusat edukasi, rekreasi dan evakuasi yang bersifat efektif dan produktif bagi masyarakat untuk selalu mengingat tragedi yang pernah terjadi dalam rangka menggugah respon kritis pada isu-isu kebencanaan dan membangun kesadaran serta motivasi masyarakat menuju budaya kesiap-siagaan bencana "Disaster Risk Reduction" masa akan datang.
Museum Tsunami Aceh yang dibangun oleh beberapa lembaga yang sekaligus merangkap panitia. Di antaranya Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias sebagai penyandang anggaran bangunan, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (DESDM) sebagai penyandang anggaran perencanaan, studi isi dan penyediaan koleksi museum dan pedoman pengelolaan museum), Pemerintah Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)sebagai penyedia lahan dan pengelola museum, Pemerintah Kotamadya Banda Aceh sebagai penyedia sarana dan prasarana lingkungan museum dan Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) untuk mengenang peristiwa tsunami yang menimpa Nanggroe Aceh Darussalam pada tanggal 26 Desember 2004 yang menelan korban lebih kurang 240,000. Museum ini dibangun pada tahun 2006 diatas lahan lebih kurang 10,000 persegi yang terletak di Ibukota provinsi Nanggroes Aceh Darussalam yaitu Kotamadaya Banda Aceh dengan anggaran dana sebesar kitar Rp 140 milyar.  Menurut Eddy Purwanto sebagai Penggagas Museum Tsunami Aceh dari BRR Aceh, Museum ini dibangun dengan 3 alasan

1. untuk mengenang korban bencana Tsunami
2. Sebagai pusat pendidikan bagi generasi muda tentang keselamatan
3. Sebagai pusat evakuasi jika bencana tsunami datang lagi.” 

Museum Tsunami Aceh
Pembangunan museum ini bertujuan  tidak hanya menjadi sebuah bangunan monumen, tetapi juga sebagai objek sejarah, dimana bangunan ini menjadi tempat pusat penelitian dan pembelajaran tentang bencana tsunami sebagai simbol kekuatan masyarakat Aceh dalam menghadapi bencana tsunami. Selain itu bangunan ini diharapkan menjadi warisan untuk generasi Aceh di masa mendatang sebagai pesan dan pelajaran bahwa tsunami pernah melanda Aceh yang telah menelan banyak korban. Bangunan museum ini terdiri dari 4 tingkat dengan hiasan dekorasi bernuansa islam. Dari arah luar dapat terlihat bangunan ini berbentuk seperti kapal, dengan sebuah mencu suar berdiri tegak di atasnya. Tampilan eksterior yang luar biasa yang mengekspresikan keberagaman budaya Aceh terlihat dari ornamen dekoratif unsur transparansi elemen kulit luar bangunan. Ornamen ini melambangkan tarian saman sebagai cerminan Hablumminannas, yaitu konsep hubungan antar manusia dalam Islam.
Pada lantai 3 Museum Tsunami Aceh, terdapat beberapa fasilitas seperti ruang geologi, perpustakaan, musalla, dan souvenir. Pada ruang geologi, pengunjung dapat memperoleh informasi mengenai kebencanaan, bagaimana gempa dan tsunami terjadi, melalui penjelasan dari beberapa display dan alat simulasi yang terdapat dalam ruangan tersebut.
Di tingkat akhir gedung Museum Tsunami Aceh, difungsikan sebagai gescape building atau penyelamatan diri ketika tsunami terjadi lagi di masa yang akan datang. Tingkat atap ini tidak dibuka untuk umum karena mengingat konsep keselamatan dan keamanan. Dari tingkat atap ini, hampir keseluruhan daerah kota Banda Aceh dapat terlihat dari atas gedung.

 Museum Tsunami Aceh terletak di lokasi tamana sari  kota Banda Aceh kira-kira 500 meter  dari Masjid Raya Biturahman  Banda Aceh.

 Fungsi Museum Tsunami Aceh adalah :

1. Sebagai objek sejarah, dimana museum tsunami akan menjadi pusat penelitian dan pembelajaran   tentang bencana tsunami.
2. Sebagai simbol kekuatan masyarakat Aceh dalam menghadapi bencana tsunami.
3. Sebagai warisan kepada generasi mendatang di Aceh dalam bentuk pesan bahwa di daerahnya pernah terjadi tsunami.
4. Untuk mengingatkan bahaya bencana gempa bumi dan tsunami yang mengancam wilayah Indonesia. Hal ini disebabkan Indonesia terletak di “Cincin Api” Pasifik, sabuk gunung berapi, dan jalur yang mengelilingi Basin Pasifik. Wilayah cincin api merupakan daerah yang sering diterjang gempa bumi yang dapat memicu tsunami.

Museum tsunami Aceh hingga  saat ini masih sangat ramai dikunjungi oleh wisata / pelancong domistik dan manca Negara. Menurut data Statistik  Aceh mulai tahun 2010 sampai tahun 2012   peningkatan pengunjung  sangat tinggi namun pada tahun 2013 sudah agak menurun. Museum Tsunami Aceh yang diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 23 Februari 2009. Dan dibuka untuk umum pada 8 Mei 2011 yang di isi dengan  55 koleksi  terdiri dari :  7 unit maket, 22 unit alat peraga, dan 26 unit foto ataupun lukisan yang menggambarkan keadaan tsunami di Aceh.  dan  ketika memasuki ruang koleksi, suasana mengenang tsunami terusik oleh kondisi koleksi yang tak sempurna. Sejumlah koleksi, seperti ruang simulasi gempa, alat peraga rumah tahan gempa dan rumah tak tahan gempa, serta alat peraga gelombang tsunami. Desain dan pembangunan Museum Aceh dengan konsep ‘Rumoh Aceh as Escape Building’ mempunyai beragam filosofi. Pada lantai dasar museum ini menceritakan bagaimana tsunami terjadi melalui arsitektur yang didesain secara unik. Pada masing-masing ruangan memiliki filosofi tersendiri yang mendeskripsikan gambaran tentang tsunami sebagai memorial dari bencana besar yang melanda Aceh pada 26 Desember 2004 silam yang menelan ribuan korban jiwa.
 Filosofi dari design Museum Tsunami Aceh segagai berikut:
1.     * Space of Fear (Lorong Tsunami)
Akses awal lorong Tsunami untuk  pengunjung  memasuki Museum Tsunami yang memiliki panjang 30 m dan tinggi hingga 19-23 m melambangkan tingginya gelombang tsunami yang terjadi pada tahun 2004 silam.  Air mengalir di kedua sisi dinding museum,  dengan suara gemuruh air dan cahaya yang remang-remang agak gelap, lembab dan lorong yang sempit, mendeskripsikan perasaan rasa takut masyarakat Aceh pada saat tsunami terjadi, yang disebut space of fear.

2.  * Space of Memory (Ruang Kenangan)

Setelah berjalan melewati Lorong Tsunami yang panjang 30 m, pengunjung memasuki Ruang Kenangan (Memorial Hall). Ruangan ini memiliki 26 monitor sebagai lambang dari kejadian tsunami yang melanda Aceh. Setiap monitor menampilkan gambar dan foto para korban dan lokasi bencana yang melanda Aceh pada saat tsunami sebanyak 40 gambar yang ditampilkan dalam bentuk slide. Gambar dan foto ini seakan mengingatkan kembali kejadian tsunami yang melanda Aceh atau disebut space of memory yang sulit di lupakan dan dapat dipetik hikmah dari kejadian tersebut. Ruang dengan dinding kaca ini memiliki filosofi keberadaan di dalam laut (gelombang tsunami). Ketika memasuki ruangan ini, pengunjung seolah-olah tengah berada di dalam laut, dilambangkan dengan dinding-dinding kaca yang menggambarkan luasnya dasar laut, monitor-monitor yang ada di dalam ruangan dilambangkan sebagai bebatuan yang ada di dalam air, dan lampu-lampu remang yang ada di atap ruangan dilambangkan sebagai cahaya dari atas permukaan air yang masuk ke dasar laut.

       * Space of Sorrow (Ruang Sumur Doa)

Melalui Ruang Kenangan (Memorial Hall), pengunjung akan memasuki Ruang Sumur Doa (Chamber of Blessing). Ruangan berbentuk silinder dengan cahaya remang dan ketinggian 30 meter ini memiliki kurang lebih 2.000 nama-nama koban tsunami yang tertera disetiap dindingnya. Ruangan ini difilosofikan sebagai kuburan massal tsunami dan pengunjung yang memasuki ruanga ini dianjurkan untuk mendoakan para korban menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Ruangan ini juga menggambarkan hubungan manusia dengan Tuhannya (hablumminallah) yang dilambangkan dengan tulisan kaligrafi Allah yang tertera di atas cerobong dengan cahaya yang mengarah ke atas dan lantunan ayat-ayat Al-Qur’an. melambangkan bahwa setiap manusia pasti akan kembali kepada Allah (penciptanya).

4.    *   Space of Confuse (Lorong Cerobong)

Setelah Sumur Doa, pengunjung akan melewati Lorong Cerobong (Romp Cerobong) menuju Jembatan Harapan. Lorong ini didesain dengan lantai yang bekelok dan tidak rata sebagai bentuk filosofi dari kebingungan dan keputusasaan masyarakat Aceh saat didera tsunami pada tahun 2004 silam, kebingungan akan arah tujuan, kebingungan mencari sanak saudara yang hilang, dan kebingungan karena kehilangan harta dan benda, maka filosofi lorong ini disebut Space of Confuse. Lorong gelap yang membawa pengunjung menuju cahaya alami melambangkan sebuah harapan bahwa masyarakat Aceh pada saat itu masih memiki harapan dari adanya bantuan dunia untuk Aceh guna membantu memulihkan kondisi fisik dan psikologis masyarakat Aceh yang pada saat usai bencana mengalami trauma dan kehilangan yang besar.

      * Space of Hope (Jembatan Harapan)

Lorong cerobong membawa pengunjung ke arah Jembatan Harapan (space of hope). Disebut jembatan harapan karena melalui jembatan ini pengunjung dapat melihat 54 bendera dari 54 negara yang ikut membantu Aceh pasca tsunami, jumlah bendera sama denga jumlah batu yang tersusun di pinggiran kolam. Di setiap bendera dan batu bertuliskan kata ‘Damai’ dengan bahasa dari masing-masing negara sebagai refleksi perdamaian Aceh dari peperangan dan konflik sebelum tsunami terjadi. dunia melihat secara langsung kondisi Aceh, mendukung dan membantu perdamaian Aceh, serta turut andil dalam membangun (merekontruksi) Aceh setelah bencana terjadi.

Museum Tsunami sebagai Pusat Evakuasi
Perlu disadari bahwa secara geografis, Indonesia berada pada lempengan bumi yang sangat rentan akan terjadinya berbagai bencana alam "Ring of Fire", sehingga menjadi perhatian kita semua untuk terus membangun kesadaran dan motivasi masyarakat kita terhadap upaya kesiap-siagaan dalam mengurangi resiko bencana "Disaster Risk Reduction" di masa akan datang.
Membangun upaya kesiap-siagaan bencana berarti kita sudah mempersiapkan diri dan mentalitas kita terhadap pengambilan langkah-langkah efektif apa saja dalam melakukan upaya penyelamatan diri sebelum, sedang dan pasca bencana terjadi. Langkah-langkah ini penting untuk mempersiapkan diri tentang bagaimana, kapan dan kemana untuk bergerak untuk menyelamatkan diri, sekaligus menghindari kepanikan dan ketakutan yang dapat berdampak pada jatuhnya korban.
Mengamati pengalaman saat gempa tersebut terjadi, Museum Tsunami Aceh telah menjadi pilihan bagi masyarakat, khususnya para pelajar/siswa sebagai pusat evakuasi untuk menyelamatkan diri dalam upaya mengantisipasi perkiraan akan terjadinya Tsunami. Diperkirakan 1000 masyarakat, khususnya para pelajar/siswa melakukan upaya penyelamatan diri secara spontanitas ke Museum Tsunami. Para petugas Museum Tsunami dengan berbagai keprihatinan dan kekhawatiran terhadap keselamatan diri dan anggota keluarga mereka tetap melakukan berbagai upaya mitigasi bencana kepada masyarakat, khususnya dalam menenangkan massa yang ingin memaksa masuk ke dalam museum padahal getaran gempa masih terjadi, walaupun massa akhirnya diperbolehkan masuk, namun tetap waspada dan siaga terjadinya berbagai kondisi yang paling buruk "worst scenario".
Hasil survey di lapangan, petugas selain mencoba menenangkan dan menertibkan massa, juga menyempatkan diri menanyakan alasan dan motif utama para pelajar/siswa menyelamatkan diri ke Museum Tsunami. Yang paling menakjubkan adalah umumnya para pelajar/siswa memberi jawaban yang hampir sama bahwa selain mereka telah sering mengunjungi Museum Tsunami dan mempelajari berbagai aktifitas museum, juga Museum Tsunami berfungsi sebagai pusat evakuasi bencana, khususnya bila terjadi gempa besar.
Dapat disimpulkan bahwa Museum Tsunami dengan berbagai koleksi peninggalan Tsunami, media berbagi pengalaman bencana dan pengetahuan kebencanaan telah menjadi pusat edukasi, rekreasi dan evakuasi sangat efektif bagi masyarakat dalam menggugah respon kritis pada isu-isu kebencanaan dan membangun kesadaran serta motivasi masyarakat menuju budaya kesiap-siagaan bencana, seperti yang telah dilakukan oleh para pelajar/siswa pasca gempa kembar pada tanggal 11 April 2012.
Langkah-langkah efektif yang dilakukan oleh para pelajar/siswa telah mengingatkan kita pada sebuah kearifan lokal yang telah berhasil diadopsi oleh masyarakat Simeulue melalui pengalaman "Smong"nya atau "Tsunami" dalam bahasa setempat, dimana sikap penyelamatan diri masyarakat saat akan terjadinya Tsunami bukanlah dilakukan secara spon tanitas, melainkan berdasarkan pengalaman bencana Tsunami yang pernah menimpa mereka pada tahun 1907 dengan jumlah korban jiwa yang relatif besar.
Museum Tsunami Aceh sebagai museum global diharapkan akan terus berfungsi dan berperan sebagai pusat pendidikan dan pembelajaran dalam rangka memperkenalkan dan membangun kesadaran masyarakat terhadap budaya kesiap-siagaan bencana dengan menampilkan beragam objek "artefact" atau peninggalan bencana serta kegiatan berbagi pengalaman bencana masa lalu antara saksi hidup yang selamat dari bencana dengan para pengunjung museum "telling live stories/lessons from past disasters". 
Dukungan semua pihak, khususnya Kementerian ESDM, BPBA (Badan Penanggulangan Bencana Aceh), TDMRC (Tsunami and Disaster Mitigation Research Center) dan masyarakat sangat diharapkan dalam memperkuat dan memajukan Museum Tsunami Aceh sebagai pusat edukasi, rekreasi dan evakuasi yang didukung dengan berbagai media simulasi, tenaga ahli dan pengelolaan yang baik serta menjadi warisan penting bagi generasi muda Aceh untuk tidak pernah melupakan tragedi kemanusiaan yang pernah menimpa Aceh yang menghilangkan harta benda dan orang-orang yang sangat kita cintai.

Museum Tsunami Aceh




0 comments:

Post a Comment