Bersyukur
bahwa catatan tentang Sultanah Safiatuddin Syah cukup banyak sehingga
dapat memberikan gambaran yang memadai mengenai kepemimpinannya. Aceh
Darussalam merupakan sebuah kerajaan yang berdaulat. Syafiatuddin Syah
yang lahir tahun 1612, anak tertua Sultan Iskandar Muda. Puteri
Syafiatuddin tumbuh menjadi gadis yang rupawan, cerdas dan
berpengetahuan. Setelah dewasa, dia dinikahkan oleh ayahnya dengan
Iskandar Thani, putera Sultan Pahang yang dibawa ke Aceh setelah
dikalahkan oleh Sultan Iskandar Muda. Tahun 1636, Sultan Iskandar Muda
meninggal. Menantunya lalu diangkat menjadi Sultan Aceh. Lima tahun
memerintah, ia meninggal (15 Ferbruari 1642) tanpa memberikan keturunan.
Tiga hari setelah berkabung, para pembesar kerajaan sepakat mengangkat
sang permaisuri menjadi raja. Namun, menjelang penobatannya, muncul
pertentangan. Ada dua alasan. Pertama Sultan Iskandar Thani tidak
berputra dan kedua, soal kelayakan perempuan menjadi raja. Persoalan
tersebut diserahkan kepada ulama senior yang sangat berpengaruh saat
itu, yaitu Tengku Abdurrauf dari Singkil. Ia menyarankan pemisahan
urusan agama dengan urusan pemerintahan. Dari sudut adat dan hukum
Islam, Syafiatuddin memenuhi sarat sebagai pemimpin. Selain itu,
Syafiatuddin memiliki kecerdasan dan pengetahuan yang cukup. Para ulama
juga mengeluarkan fatwa, bahwa urusan agama dan negara harus dipisahkan
sepanjang keduanya tidak saling bertentangan.
Sultanah
Safiatuddin Syah memerintah selama 35 tahun (1641- 1675). Inilah
masa-masa yang paling sulit karena situasi Malaka saat itu sedang panas
dengan adanya perseteruan VOC dengan Potugis merebut pengaruh sehingga
sang ratu tidak bisa terhindar darinya karena Aceh merupakan pusat
dagang utama. Sultanah sangat memperhatikan pengendalian pemerintahan,
pendidikan, keagamaan dan perekonomian. Namun, agak mengabaikan soal
kemeliteran. Pada tahun 1668, misalnya, ia mengutus ulama-ulama Aceh ke
negeri Siam untuk menyebarkan agama Islam. Sebagaimana ayahnya, ia pun
sangat mendorong para ulama dan cerdik pandai mengembangkan ilmu
pengetahuan dengan mensponsori penulisan buku-buku ilmu pengetahuan dan
keagamaan. Dalam ekonomi, ia menerbitkan mata uang emas dan menerapkan
cukai bagi pedagang asing yang berdagang di Aceh. Dalam urusan
kenegaraan, ia membentuk dua lembaga pemerintahan, yaitu Balai Laksamana
(Angkatan Perang yang dikepalai oleh seorang Laksamana) dan Balai
Fardah (Lembaga yang mengatur keuangan kerajaan seperti pemugutan cukai
dan mengeluarkan mata uang).Selain
itu, Sultanah membentuk lembaga tempat bermusyawarah, yaitu Balai
Rungsari (institusi yang terdiri empat uleebalang besar Aceh), Balai
Gadeng (beranggotakan 22 ulama besar Aceh), Balai Mejelis Mahkamah
Rakyat (semacam DPR yang beranggotakan 73 orang yang mewakili daerah
pemukiman). Yang menarik adalah, diantara 73 anggota dewan tersebut,
terdapat sejumlah wanita. Ia adalah seorang raja besar yang sangat
dihormati oleh rakyatnya dan disegani oleh negara asing (Belanda,
Portugis, Inggris, India dan Arab). Ia meninggal 23 Oktober 1675. Oleh
penurusnya, Sultanah Safiatuddin Syah tetap dihormati dengan
mencantumkan namanya Sultanah pada setempel / segel kerajaan.
Selanjutnya, kerajaan diperintah oleh Naqiatuddin dengan gelar Sri
Sultan Nurul-Alam Naqiatuddin Syah.
Menurut sejarawan Aceh, Rusdi Sufi dalam tulisannya Sultanah Safiatuddin Syah yang dibukukan bersama tulisan para sejarawan lainnya tentang pemerintahan sultanah di Aceh dalam Prominent Woment in The Glimpse of History.
Pemerintahan sultanah di Aceh mendapat perhatian dari para penulis
sejarah di Eropa. Salah satunya adalah P J Veth, seorang profesor dalam
etnologi dan geografi di Universitas Leiden, Belanda.
Pada tahun 1870, Veth menulis tentang pemerintahan wanita di nusantara dalam ‘’Vrouwen Regeringen in den Indische Archipel’’ tulisan itu dipublikasikan dalam majalah Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie.
Vert mengakui bahwa tidaklah mudah
untuk menemukan adanya figur wanita yang memerintah di Nusantara.
Meskipun demikian, ia dapat juga menemukan beberapa kasus serupa itu,
yaitu yang bersangkutan dengan pengaruh yang menentukan dari
pemerintahan kaum wanita atas sebuah kerajaan. Salah satu kasus
terpenting yang menarik perhatiannya adalah yang ada di Aceh.
Di kerajaan Aceh yang menarik
perhatiannya itu Veth menemukan adanya kekuasaan kaum wanita dalam
pemerintahan yang ternyata pernah berlangsung selama hampir 60 tahun,
kekuasaan pemerintahan yang dilaksanakan oleh empat orang wanita ( ratu
atau sultanah ) secara berturut-turut, dari tahun 1641 hingga tahun 1699
M.
Sultanah pertama yang memerintah di
Kerajaan Aceh Darussalam adalah Taj al-Alam atau Tajul Alam Safiatuddin
Syah. Wanita ini memerintah tahun 1641 hingga 1675 M, merupakan putri
tertua Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Menurut N J Ryan dalam Sejarah Semenanjung Tanah Melayu, terbitan
Oxford University Press, 1966, Suami Sultanah Safiatuddin bernama
Sultan Bungsu atau Sultan Mogul, putra Sulthan Pahang, Semenanjung Tanah
Melayu. Sultan Ini dibawa ke Aceh pada tahun 1617 sewaktu Kerajaan Aceh
menaklukkan Kerajaan Pahang.
Ketika Sultan Iskandar Muda mangkat
pada tahun 1636, ia diangkat oleh para pembesar kerajaan menjadi sultan
Aceh dengan gelar Sultan Iskandar Thani. Sultan ini meninggal pada 15
Februari 1641 setelah menduduki singgasana selama 5 tahun. Dan, tiga
hari sesudah berkabung, para pembesar kerajaan sepakat mengangkat
jandanya, Putri Sri Alam Permaisuri, menjadi sultanah.
Kembali ke Veth dalam tulisannya ia
menjelaskan, menjelang penobatan Sultanah Safiatuddin, timbul sedikit
pertentangan di kalangan pembesar Kerajaan Aceh. Hal ini, antara lain,
karena Sultan Iskandar Thani tidak berputra dan ada pula yang
mempermasalahkan soal kelayakan perempuan dalam kedudukan sebagai
seorang raja. Alasannya, pengangkatan perempuan sebagai raja
bertentangan dengan hukum Islam. Dalam hukum Islam, menurut tafsiran
pihak yang kemudian tersebut, jangankan menjadi pria, menjadi imam dan
menjadi wali pun perempuan tidak diperbolehkan.
Untuk memecahkan kebuntuan,
dilakukanlah musyawarah kerajaan. Dalam musyawarah itu, seorang ulama
terkemuka di Kerajaan Aceh pada waktu itu, Teungku Abdurrauf dari
Singkil yang menyarankan pemisahan antara urusan agama dengan urusan
pemerintahan, maka diangkatkan Safiatuddin sebagai sultanah Aceh dengan
gelar Seri Sultan Tajul Alam Safiatuddin Syah berdaulat Zil Allah, Fil-
alam ibnat Sultan Raja Iskandar Muda Johan Berdaulat.
Sultanah Safiatuddin Syah memerintah
selama sekitar 35 tahun, dari tahun 1641 hingga tahun 1675. Masa 35
tahun itu merupakan masa yang relatif lama. Hal itu pastilah tidak akan
terlaksanakan apabila tidak diikuti oleh kebijaksanaan-kebijaksanaan dan
keluarbiasaan yang dimilikinya. Lebih-lebih, pada periode itu Kerajaan
Aceh berada dalam keadaan krisis akibat kemampuan perang yang
dimilikinya sudah melemah sepeninggalan Sultan Iskandar Muda dan Sultan
Iskandar Thani. Situasi menjadi bertambah gawat dengan adanya usaha
perebutan kekuasaan dari mereka yang tidak senang terhadap kedudukan
Safiatuddin syah sebagai sultanah.
Sultanah yang Taat
Syeh Nuruddin Ar Raniry dalam kitab Bustanus Salatin
mengambarkan kepemimpinan Sultanah Safiatudin Syah sebagai seorang yang
sangat taat kepada agama. ’’…Bahwa adalah bagi Duli Hadharat tuan kita
Seri Sultan Tajul-Alam Safiatuddin Syah Berdaulat Zil Allah Fil-alam itu
sifat yang kepujian, dan perangai yang kebajikan, lagi takut akan Allah
senantiasa dengan membaca kitab Allah dan menyuruhkan orang berbuat
kebajikan-kebajikan dan melarangkan orang berbuat kejahatan…’’
Pada gilirannya, bagi Ar-Raniri,
kualifikasi tersebut menjadi faktor yang sangat menentukan bagi
bertahannya Sultanah Safiatuddin Syah sebagai ratu dalam waktu yang
lama. “… ialah yang sangat tawaqhurnya akan Allah SWT maka dianugerahi
Allah akan dia lama menyunjung khalifahnya. Dan pada masanyalah mendapat
beberapa galian emas, perbendaharaan Allah SWT, pada segala gunung yang
tiada terkira banyaknya. Dan ialah mengeraskan shariat Nabi Muhammad
Rasulullah. Maka adalah lama paduka Seri Sultan Tajul-Alam Safiatuddin
Syah berdaulat zil Allah Fil-Alam di atas tahta kerajaan tiga puluh lima
tahun delapan bulan dua puluh enam hari kemudian dari itu maka baginda
pun kembalilah ke rahmat Allah…”.
Hal yang sama juga ditulis Denys Lombard dalam Kerajaan Aceh Zaman Iskandar Muda. Dalam
buku ini Lombard menulis bahwa Sultanah Safiatuddin Syah sangat
memperhatikan pengendalian pemerintahannya, masalah-masalah pendidikan
keagamaan, dan perekonomian. Dalam hal keagamaan ia memperlihatkan
antusiasme yang tinggi terhadap perkembangan Islam. Pada tahun 1668,
misalnya, ia mengutus ulama-ulama Aceh pergi ke negeri Siam untuk
menyebarkan agama Islam di kalangan penduduk setempat.
Karena itu pula, ia mendapat
dukungan dua ulama Aceh terkemuka dalam pemerintahannya yakni Syaikh
Nuruddin Ar-Raniri dan Syaikh Abdurrauf as Singkili. Nuruddin Ar-Raniri
adalah seorang ulama asal Ranir, India yang datang ke Aceh ketika Sultan
Iskandar Thani berkuasa. Selain sebagai guru Sultanah Safiatuddin, ia
juga seorang ulama yang memberikan dukungan besar kepada muridnya itu
ketika wanita itu dinobatkan sebagai sultanah.
Syaikh Abdul Rauf berangkat ke Mekah
menimba ilmu pada saat penobatan Safiatuddin sebagai ratu Aceh. Setelah
selama 19 tahun berada di Mekah, ia kembali ke Aceh dan menempatkan
diri dekat dengan kalangan istana sehingga kemudian diangkat pula
sebagai Kadhi Malikul Adil. Kembalinya Syaikh Abdurrauf atas panggilan
Ratu Safiatuddin sendiri. Kenyataan terakhir itu membuktikan bahwa ratu
tersebut juga memberikan perhatiannya terhadap persoalan pengetahuan.
Sebagai putri kandung Sultan Iskandar Muda.
Menurut T Ibrahim Alfian dalam Mata Uang Emas Kerajaan-kerajaan di Aceh, Sultanah
Safiatuddin Syah Meneruskan upaya-upaya yang telah dilakukan
orangtuanya di bidang pengembangan ilmu pengetahuan. Cara-cara yang
ditempuhnya antara lain adalah dengan mendorong para ulama untuk
terus-menerus memperdalam ilmu pengetahuan dan mengarang berbagai kitab.
Untuk memajukan rakyatnya dalam ilmu
pengetahuan agama, khususnya yang menyangkut hukum Islam, Safiatuddin
Syah memerintahkan Teungku Syeh Abdurrauf mengarang sebuah kitab tentang
hal itu. Kitab itu berjudul Mir’at al-Tullab atau, lengkapnya, Mir’at al Tullab fi Tashil Ma’rifat ahkam al-syar’iyyah li al malik al wahhab yang
kurang lebih berarti ‘Cermin bagi mereka yang menuntut ilmu Fikih pada
memudahkan mengenal segala Hukum Syara’ Allah. Kitab ini diperkirakan
ditulis pada tahun 1663 dan merupakan kitab hukum syara’ pertama yang
ditulis dalam bahasa Jawi Melayu.
Syaikh Abdurrauf, pengarang kitab itu
sendiri, mengakui bahwa penulisan kitab di atas dilakukan atas
permintaan Ratu Safiatuddin sendiri. ‘ Maka bahwasanya adalah hadarat
yang maha mulia [ Paduka Seri Sultanah Taj al-Alam Syafiat al-Din Syah]
itu telah bersabda kepadaku dari pada sangat lebai akan agama Rasulullah
bahwa kukarang baginya sebuah kitab dengan bahasa Jawi yang dibangsakan
kepada bahasa Pasai yang muktaj [dibutuhkan] kepadanya orang yang
menjabat jabatan Qadi pada pekerjaan hukum dari pada segala hukum syara’
Allah yang mutamat pada segala ulama yang dibanggakan kepada Imam
Syafei Radiallahuanhu…’’
Demikian pula halnya dengan Syaikh
Nuruddin Ar-Raniri. Selain sebagai ulama dan mufti istana, ia juga
seorang pengarang yang produktif. Selama berada di Kerajaan Aceh, ia
sekurangnya telah membuahkan 29 kitab. Karya-karya itu sebagian besar
ditulis pada masa Sultanah Safiatuddin Syah. Kebanyakan isinya
mempermasalahkan soal Wujudyah di samping juga soal sastra, hukum, dan
ilmu pengetahuan agama.
Menurut Ahmad Daudy dalam Allah dan Manusia Dalam Konsep Syeikh Nuruddin Ar raniri, prestasi
yang dicapai oleh Sultanah Safiatuddin Syah tidak hanya bersangkutan
dengan soal-soal keagamaan seperti yang telah dikemukakan, melainkan
juga dalam soal-soal teknis pemerintahan. Sultanah Safiatuddin berhasil
menggalang persatuan di kalangan rakyatnya dalam mengadapi
tantangan-tantangan yang ditinggalkan oleh masa raja sebelumnya.
Syeikh Nurruddin Ar-Raniri dalam kitab Bustanus Salatin juga
menggambarkan, pada masa pemerintahan sultanah ini ditemukan galian
pada sejumlah gunung dengan hasil melimpah sehingga membuat Kerajaan
Aceh menjadi kaya dan makmur. Karena begitu banyak emas yang
dimilikinya, Sultanah Safiatuddin Syah mengeluarkan sejumlah mata uang
emas yang dinamakan dirham sebagai alat tukar utama yang berlaku di
wilayah Kerajaan Aceh dan sekitarnya. Sistem keuangan yang berlaku
disesuaikan dengan situasi zaman oleh sultanah itu.
Menurut Van Langen (1888: 430), di
bawah pemerintahan Safiatuddin Syah dirham yang sebelumnya sudah beredar
di Kerajaan Aceh dikurangi kadar emasnya. Sejumlah emas yang lazim
digunakan untuk menempa satu ringgit Spanyol diperintahkannya untuk
ditempa menjadi 6 dirham dengan mengurangi kadar emasnya dari 9 menjadi 8
mutu meuih (emas ) atau 19,2 karat menurut hitungan emas Belanda.
Sultanah Safiatuddin memerintahkan
pengatur keuangan kerajaan mengumpulkan semua dirham buatan para sultan
sebelumnya untuk dilebur menjadi dirham baru. Kebijaksanaan yang
dimikian tentu saja bermanfat bagi kepentingan ekonomi Kerajaan Aceh
pada waktu itu. Hal lain yang membedakan dirham buatan masa Safiatuddin
Syah dengan buatan sultan-sultan sebelumnya tulisan yang tertatah di
kedua sisinya. Pada bagian muka dirham buatan zaman Ratu Aceh pertama
tersebut tertera nama Paduka Seri Sultanah Ta al–Alam, sedangkan pada
bagian belakangnya terdapat tulisan Safiat al-Din Syah.
F W Stammeshaus dalam tulisannya “Atjehshe Munten” menulis,
jumlah mata uang yang dikeluarkan di masa Safiatuddin Syah sangat
banyak dibandingkan dengan jumlah mata uang yang dikeluarka oleh
penguasa-penguasa sebelumnya. Hal itu, tampaknya, berkaitan erat dengan
ditemukannya banyak emas di wilayah Kerajaan Aceh pada masa itu seperti
yang telah dikemukakan.
Adapun gambaran kehidupan
perekonomian di Kerajaan Aceh pada waktu itu, khususnya di ibu kota
kerajaannya, dapat diperoleh dari tulisan Ar-Raniri (1966: 59) sebagai
berikut.’’… di Bandar Darussalam pada waktu itu terlalu makmur dan
makanan pun sangat murah, dan segala manusia pun dalam keadaan
kesentosaan dan mengikuti segala barang sabdanya. Dan ialah yang adil
pada segala barang hukumnya, dan tawakal pada segala barang
pekarjaanya…’’
Tentang kemakmuran itu juga ditulis oleh Hoesein Djajaninggrat dalam “Critisch Overzicht van de in Maleiche Werken Vervatte Gegevens Over de Geschiedenis van het Sultanaat van Atjeh. Katanya,
kemakmuran dan kekayaan Kerajaan Aceh pada masa itu adalah peristiwa
pembuatan makam atau nisan persembahan Sultanah Safiatuddin Syah untuk
suaminya, Sultan Iskandar Thani. Makam dan pusara itu berupa sebuah
bangunan yang relatif megah, keranda jenazah dibuat dengan
lapisan-lapisan emas murni. Kemegahan serupa terlihat pula pada bangunan
mesjid Baiturrahman dan pada berlimpahnya perhiasan-perhiasan milik
kerajaan yang menghiasi istana.
Hal yang sama juga diungkapkan
Lombard yang menjelaskan, selain disebabkan oleh hasil tambang emas,
kemakmuran yang dicapai Kerajaan Aceh pada waktu itu juga berkat
kebijaksanaan-kebijaksanaan yang dilakukan oleh Sultanah sendiri. Salah
satu kebijaksanaan penting dari Sultanah adalah pemungutan cukai atau
pajak pada setiap pedagang asing yang melakukan perdagangan dalam
wilayah kekuasaan Aceh dan daerah taklukannya.
Administrasi Kerajaan
Sultanah Safiatuddin Syah juga
memperlihatkan kebijaksanaan tertentu dalam pengelolaan administrasi
kerajaan. Menurut sebuah naskah yang bernama Qanun Meukuta Alam, di
Kerajaan Aceh terdapat beberapa lembaga yang membantu sultan dalam
melaksanakan tugasnya antara lain: Balai Laksamana, yaitu semacam markas
perang, dikepalai oleh seorang laksamana. Balai Fardah yang tugasnya
mengatur keuangan kerajaan seperti pemungutan bea cukai dan mengeluarkan
mata uang.
Kedua lembaga tersebut merupakan
lembaga pelaksana pemerintah (eksekutif). Selain itu, terdapat pula
lembaga-lembaga lain sebagai tempat bermusyawarah, yaitu disebut ‘’Balai
Musyawarah’’ (lembaga legislatif) yang terdiri dari tiga bagian yaitu:
Balairungsari sebagai institusi terdiri dari empat uleebalang besar di
Aceh. Balai Gadengbalai para ulama terdiri dari 22 Ulama Besar di Aceh.
Balai Majelis Mahkamah Rakyat yakni dewan rakyatyang terdiri atas 73
orang anggota yang berasal dari 73 buah mukim.
Setelah memerintah dengan berbagai
kebijaksanaan dan rintangan di atas selama 35 tahun, tepatnya pada hari
Rabu, 23 Oktober 1675 atau bertepatan dengan 3 Syakban 1086 H, Sultanah
Safiatuddin Syah mengakhiri kekuasaannya. Ia wafat pada tanggal
tersebut. Kerajaan Aceh kemudian dipimpin oleh Sultanah Naqiatuddin yang
bergelar Sri Sultan Nurul Alam Naqiatuddin Syah

0 comments:
Post a Comment