Saturday, April 19, 2014

TEUKU UMAR

Teuku Umar dilahirkan di Meulaboh Aceh Barat pada tahun 1854. Ayahnya bernama Achmad Mahmud yang berasal dan keturunan Uleebalang Meulaboh. Nenek moyang Umar berasal dari keturunan Minangkabau yaitu Datuk Nachudum Sakti. Salah seorang keturunan Datuk Nachudum Sakti pernah berjasa terhadap Sultan Aceh, yang pada waktu itu terancam oleh seorang Panglima Sagi yang ingin merebut kekuasaannya. Berkat jasa Panglima keturunan Minangkabau ini Sultan Aceh terhindar dari bahaya. Berkat jasanya tersebut, orang itu kemudian diangkat menjadi Uleebalang 6 Mukim dengan gelar Teuku Nan Ranceh, yang kemudian mempunyai dua orang putra yaitu Nanta Setia dan Ahmad Mahmud. (Mardanas Safwan: 1981 : 34). Sepeninggal Teuku Nan Ranceh, Nanta Setia menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Uleebalang 6 Mukim. Ia mempunyai anak perempuan bernama Cut Nyak Dhin. Ahmad Mahmud kawin dengan adik perempuan raja Meulaboh. Dalam perkawinan itu ia memperoleh dua orang anak perempuan dan empat anak laki-laki. Dari keempat anak laki-lakinya, salah satu bernama Teuku Umar. Jadi Umar dan Cut Nyak Dhien merupakan saudara sepupu dan dalam tubuh mereka mengalir darah Minangkabau, darah seorang Datuk yang merantau ke Aceh dan memasyhurkan namanya. (Hazil, 1955 : 48).
Baik Umar maupun Cut Nyak Dhien pada masa kecilnya tidak pemah bertemu, mereka hanya mengenal nama masing-masing. Ketika masih kecil, Umar merupakan anak yang sangat nakal, tetapi juga sangat cerdas. Sebagai anak nakal, ia suka berkelahi dengan teman-teman sepermainannya. Dalam perkelahian, ia juga sering dikeroyok, tetapi ia tidak takut. Berkat keberanian dan keunggulan di antara teman-temannya, Umar pernah diangkat sebagai Kepala Kelompok anak-anak di kampungnya. Dengan adanya penghargaan itu, maka Umar semakin disegani dan ditakuti oleh kawan dan lawannya bermain. Setelah berumur 10 tahun, ia memisahkan diri dari kehidupan orang tuanya, mengembara di rimba Aceh dan bertualang dari daerah satu ke daerah lain sambil mencari pengalaman hidup dan berguru. Setelah menginjak masa remaja, sifat Umar mulai berubah. la pandai dan gemar bergaul dengan rakyat tanpa membedakan kedudukan orang itu dalam masyarakat.
Jiwa kerakyatan telah timbul dan ia mempunyai cita-cita dan rasa kemerdekaan yang meresap sampai ke tulang sumsumnya. Ketika Perang Aceh meletus pada tahun 1873, Umar baru berumur 19 tahun. la belum ikut pada perang ini, karena umurnya masih sangat muda dan jiwanya belum mantap, kendatipun waktu itu la sudah diangkat menjadi Keuchik di daerah Daya Meulaboh. Ketika berumur 20 tahun, Umar menikah dengan Nyak Sopiah, anak Uleebalang Glumpang. la semakin dihormati dan disegani karena mempunyai sifat yang keras dan pantang menyerah dalam menyelesaikan setiap persoalan hidup. Untuk lebih menaikkan derajatnya, Umar menikah lagi dengan Nyak Malighai seorang putri dari Panglima Sagi XXV Mukim. Mulai saat itu Umar memakai gelar Teuku dan bercita-cita untuk membebaskan daerahnya dari kekuasaan Belanda (Mardanas Safwan, 1981 : 35).
Teuku Umar tidak pernah mengenyam pendidikan sekolah seperti pemimpin-pemimpin lainnya, tetapi dia dapat menjadi seorang pemimpin yang cakap, disiplin dan mempunyai kemauan yang keras. Pengetahuannya diperoleh dari pengalaman hidup yang diperoleh dari pengembaraannya dari daerah satu ke daerah lain dan berguru pada orang-orang yang dianggapnya cakap. Di samping memiliki bakat memimpin, dan mempunyai otak yang cerdas, pengetahuan yang dimiliki ia peroleh dari petualangannya. Untuk mencapai cita-cita membebaskan Aceh dari cengkraman bangsa asing (Belanda), Aceh harus mempunyai tentara yang kuat dan terlatih. Berkat ketekunan dan kewibawaan serta kecakapannya, akhirnya Umar berhasil membentuk pasukan. Orangorang yang berani dan tangkas oleh Umar dilatih dan direkrut menjadi pasukan yang siap tempur.
Pada waktu Ibrahim Lamnga masih hidup, Cut Nyak Dhien dengan setia membantu perjuangan suaminya. la sanggup berkorban apa saja demi perjuangan suaminya. Itulah yang menarik hati Teuku Umar. Setelah cintanya diterima dengan senang hati, Umar melamar Cut Nyak Dhien dan dalam tahun 1878 keduanya melangsungkan upacara perkawinan di Montasik. (H.M. Zainuddin et. al., 1972 : 4). Dengan demikian, Umar telah menikah untuk yang ketiga kalinya. Ketiga istrinya adalah sama-sama wanita bangsawan dan sama-sama keturunan Uleebalang. Dari perkawinan Teuku Umar dengan Cut Nyak Dhien lahirlah anak perempuan yang diberi nama Cut Gambang. Anak ini lahir jauh dari kampung halamannya karena ia harus lahir di tempat pengungsian. Ketika itu ayahnya (Umar) sedang memimpin pertempuran melawan Belanda. Di tempat pengungsian Umar berjanji pada anaknya bahwa pada suatu saat nanti ia akan mengantarkan anak dan istrinya kembali ke rumahnya di Montasik, karena hak milik yang dikuasai Belanda ini harus direbut kembali. Dengan suara kecil ia berbisik pada anaknya, bahwa kalau seandainya engkau kembali ke daerah 6 Mukim, engkau akan menjadi Hulubalang 6 Mukim. Dengan tersenyum dan suara kecil Teuku Umar melanjutkan pula berkata kepada istrinya, bahwa engkau akan menuntut pula sebagai Panglima Sagie 26 Mukim apabila Panglima Sagi yang sekarang meninggal dunia. (Hazil, 1955 : 59).
Waktu Jenderal Van Der Heiden menggantikan Jenderal Pel, mulailah diadakan ofensif dengan mengirim ekspedisi ke Mukim XXII. Panglima Polem terpaksa mengundurkan diri ke daerah lain. Melihat tentara Aceh terus terdesak oleh ofensif pasukan Belanda, Teuku Umar mulai bekerja keras. la menghubungi para pemuda Aceh untuk diajak bersama-sama berjuang melawan Belanda. Umar juga menjelaskan pada para pemuda Aceh bahwa mempertahankan tanah air dan tanah tumpah darah dari serangan musuh adalah kewajiban setiap orang Aceh terhadap Tuhannya. Artinya, barang siapa yang tidak mau mengusir atau melawan penjajah, maka orang itu akan mendapat hukuman dari Tuhan, sebab tanah tumpah darah itu sebagai karunia Tuhan kepada manusia yang harus dipelihara dengan sebaik-baiknya dan dilarang orang menyerahkan kepada bangsa Asing. Milik Aceh adalah untuk rakyat Aceh. Demikian cara Teuku Umar menggugah semangat perjuangan para pemuda Aceh untuk mempertahankan kemerdekaan. Dengan cara demikian Teuku Umar berhasil merekrut sejumlah besar tentara pejuang yang berani mati.
Tetapi yang paling sedih adalah Nanta Setia dan Cut Nyak Dhien. Kekalahan tentara Aceh pada waktu itu menjadi perhatian Teuku Umar. la berfikir keras untuk mendapatkan pelajaran dari kekalahan itu bagi perjuangan tentara Aceh selanjutnya. Akhirnya Umar dapat mengetahui bahwa sumber utama kekalahan adalah di bidang persenjataan. Belanda dapat mengalahkan tentara Aceh karena Belanda memiliki senjata yang lebih baik dan lebih banyak jumlahnya dibandingkan dengan yang dimiliki tentara Aceh. Sehubungan dengan itu Teuku Umar kemudian menetapkan bahwa dalam peperangan mempertahakan kemerdekaan, maka rakyat dan tentara Aceh harus dapat merebut senjata dan perbekalan yang banyak dan tangan musuh, walaupun harus menghalalkan segala cara. Tetapi bagaimanakah hal itu dapat terjadi? Itulah yang selalu menjadi bahan peikiran Teuku Umar setiap hari. Pada waktu diadakan perundingan dengan pemimpin-pemimpin pejuang lainnya, Teuku Umar mengajukan suatu cara untuk mencapai tujuan tersebut. Cara itu kemudian mendapat persetujuan dari para pemimpin yang hadir la telah menentukan suatu siasat, tetapi siasat itu sifatnya sangat rahasia dan hanya pemimpin-pemimpin pejuang tertentu saja yang boleh tahu.
Pada tahun 1883 di Aceh terjadi suatu peristiwa yang sangat menggemparkan, yaitu berita mengenai Teuku Umar menyerahan diri dan memihak kepada Belanda. (Rusdi Sufi, 1994: 88). Rakyat Aceh marah dan banyak yang mengutuk sebagai pengkhianat diantara mereka ada pula yang menghendaki agar Teuku Umar dibunuh oleh rakyat sendiri. Sementara itu, Belanda sangat gembira menerima penyerahan diri Teuku Umar. Dengan menyerahnya Teuku Umar, Belanda berharap dapat dengan mudah menaklukkan seluruh rakyat Aceh. Setelah menyerahkan diri, maka Umar mendapat kepercayaan dari Belanda. Ia diserahi tugas yang penting-penting untuk melaksanakan keinginan Belanda menumpas perlawanan rakyat Aceh. Pada mulanya tugas yang diberikan kepada Teuku Umar adalah melatih tentara Belanda bertempur di hutan belantara dan mengajarkan teknik perang gerilya.
Teuku Umar melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya, tetapi di dalam hatinya ia memegang teguh siasat perang yang telah ditetapkan bersama dengan para pemimpin pejuang Aceh beberapa waktu sebelumnya. Selesai melatih perang gerilya di hutan belantara, Teuku Umar ditugaskan memimpin penumpasan perlawanan rakyat Aceh. Dalam pertempuran itu memang banyak korban jatuh di kedua belah pihak, tetapi tentara Belanda banyak yang mati dan senjatanya banyak yang berhasil dirampas tentara Aceh. Tentara Aceh hanya sebentar saja mampu melawan serangan tentara Belanda dan kemudian mereka mundur meninggalkan benteng pertahanannya. Apalagi tentara Aceh hanya berpura-pura saja berperang melawan tentara Umar. Demikian juga sebaliknya Umar juga berpura-pura menyerang Aceh. Karena tidak tahu siasat Umar, Belanda gembira menyaksikan mundurnya tentara Aceh itu. Belanda menganggap dengan bantuan Umar, mereka dapat mematahkan seluruh perlawanan Aceh. Untuk itu, Umar mendapat hadiah besar berupa uang dan materi lainnya yang berguna untuk menambah modal perang tentara Aceh yang dikirim secara rahasia. Ketika sebuah kapal Inggris yang bernama “Nicero” terdampar dan dirampas oleh raja Teunom, kapten dan awak kapalnya disandera. Raja Teunom menuntut kepada pemilik kapal, bahwa sandera akan dibebaskan jika pemilik kapal sanggup menebusnya dengan uang tunai sebesar 10.000 dolar. Oleh Pemerintah Kolonial Belanda Teuku Umar ditugaskan untuk membebaskan kapal tersebut. Pembebasan kapal milik Inggris ini harus dilakukan pihak Belanda karena perampasan kapal tersebut telah mengakibatkan ketegangan hubungan antara Inggris dengan Belanda.
Pada waktu menerima tugas tersebut Teuku Umar menyatakan bahwa merebut Kapal “Nicero” dari raja Teunom merupakan pekerjaan yang berat sebab tentara Raja Teunom sangat kuat, wajarlah kalau Inggris sendiri tidak dapat merebut kembali kapal tersebut. Namun ia sendiri dengan pasukan Belanda yang dipimpinnya sanggup merebut kembali kapal itu asal ia diberi perbekalan dan persenjataan yang banyak sehingga dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama. Setelah memperoleh perbekalan perang yang cukup banyak, berangkatlah Teuku Umar dengan kapal “Bengkulen” ke Aceh Barat membawa 32 orang tentara Belanda dan beberapa orang panglimanya. Beberapa waktu setelah upacara pemberangkatan tersebut, kalangan Belanda dikejutkan oleh sebuah berita yang menyatakan bahwa semua tentara Belanda yang ditugaskan untuk merebut kembali kapal “Nicero” telah dibunuh di tengah laut oleh Teuku Umar bersama anak buahnya. Seluruh senjata dan amunisi beserta perlengkapan perang lainnya dirampas. (H.M. Zainuddin, 1972 : 5).
menyerahkan 18 orang awak kapal “Nicero” yang masih hidup. la berbesar hati karena dapat menggegerkan negara-negara besar dengan peristiwa tersebut. (Moehammad Said, 1985: 229). Sementara itu Teuku Umar yang telah kembali ke pihak Aceh menerima sambutan hangat dari seluruh rakyat. Semua senjata hasil rampasan segera dibagi-bagikan kepada tentara Aceh. Sejak saat itu, Teuku Umar memimpin perlawanan rakyat menentang Belanda. Serangan pasukan Aceh yang dipimpin oleh Teuku Umar berhasil dengan gemilang merebut daerah 6 Mukim dari tangan Belanda. Sejak saat itu Nanta Setia, Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar kembali ke daerah 6 Mukim dan tinggal di Lampisang. (Achmad Effendi, 1975 : 43-44). Kemudian rumah Teuku Umar di Lampisang tersebut dijadikan markas besar bagi para pejuang kemerdekaan Aceh. Pada suatu pertemuan antara para pemipin pejuang di bawah pimpinan Teuku Umar dapat dicapai keputusan penting untuk memperkuat persenjataan. Untuk keperluan tersebut, tentara Aceh harus dapat merebut senjata Belanda dengan cara apa saja. Kendatipun juga harus diusahakan dengan mendatangkan senjata gelap dari para penyelundup yang sanggup menembus blokade di seputar perairan Aceh.
Setibanya di Reugaih tanggal 15 Juni 1886 Roura turun dan berjumpa dengan Umar melapor apa yang dipesankan kepadanya. Teuku Umar tidak percaya karena dia kenal betul siapa Roura dan siapa Hansen, keduanya saling konkurensi keras. Keduanya di mata Teuku Umar setali tiga wang, ringgit dan rupiah, bandit dan buaya. Dalam perundingan transaksi pembelian lada, Hansen mengemukakan bahwa pembayaran lada akan dilangsungkan di kapal setelah lada dimuat. Muncul rasa was-was dalam hati Teuku Umar. Setelah selesai pemuatan, Teaku Umar mengutus orangnya untuk menerima pembayaran, tetapi datang kabar dari kapal mengatakan bahwa Hansen ingin Teuku Umar datang sendiri. Sampai tiga kali utusan Teuku Umar itu mondarmandir di kapal, tetapi Hansen tetap teguh pada pendiriannya. Akhirnya Teuku Umar berkesimpulan bahwa Hansen memang beramaksud ingin menipunya. Malam itu juga Teuku Umar mengatur siasat untuk bertindak. Pagi dini hari seorang Panglima Teuku Umar bersama 40 orang prajuritnya telah menyusup ke kapal dan mengepung Hansen yang berada dalam kamar bersama istrinya. Hansen tidak tahu kalau sebenarnya dirinya sudah dikepung. Teuku Umar segera menemui Kapten Hansen menuntut pelunasan harga lada sebanyak $5.000,- sambil menandaskan bahwa setiap keingkaran akan ditindak. Namun Hansen ingkar janji sehingga terjadi perlawanan. Hansen memerintahkan anak buahnya untuk menangkap Teuku Umar, tetapi Teuku Umar tahu apa yang akan dilaksanakan Hansen, sehingga Teuku Umar terlebih dahulu memberi isyarat pada anak buahnya untuk bertindak, sehingga terjadilah perlawanan atau perkelahian antara anak buah dengan anak buah Teuku Umar. Anak buah Hansen berhasil dilumpuhkan oleh 40 orang Prajurit Umar. Hansen sendiri berusaha melarikan diri dan akhirnya ditembak mati. Nyonya Hansen dan John Fay ditahan sebagai sandera, sedangkan 6 awak kapal Hok Canton dilepas. (Moehammad Said, 1985 : 185-196).
Peristiwa kapal Hok Canton memang sudah selesai, tetapi menyebabkan Pemerintah Kolonial Belanda menjadi bertindak sangat hati-hati dan selalu waspada dalam menghadapi perlawanan Aceh. Kekuatan Teuku Umar harus diperhitungkan oleh Belanda sebab kekuatannya sudah sangat besar dan menimbulkan banyak kerugian bagi Belanda. Pengaruh pribadi Teuku Umar terhadap seluruh rakyatnya sangat besar, kunci kekalahan dan kemenangan rakyat Aceh menurut Belanda sepenuhnya berada ditangan Teuku Umar. Belanda mulai memikirkan cara baru untuk menundukkan rakyat Aceh. Penumpasan perlawanan rakyat dengan jalan kekerasan dianggap tidak efisien. Jalan yang ditempuhnya itu sering kali berbeda pendapat antara penguasa setempat dengan Batavia. Pada umumnya ada kecenderungan menunggu dan defensif, tidak lain karena perang telah makan banyak biaya.
Sejak tahun 1890, Snouck Hoergronje mempelajari masyarakat Aceh. Berdasarkan studi itu, Snouck Hoergronje memberikan saran-saran kepada Pemerintah Belanda agar menggempur semua pemimpin Aceh yang mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Untuk menjaga keamanan Aceh Besar di setiap segi ditempatkan pasukan mobil. (Sartono Kartodirdjo, 1993 : 389). Strategi ini didasarkan pada kesimpulan bahwa rakyat Aceh semuanya beragama Islam secara murni dan dipengaruhi oleh fanatisme ajaran agama yang menyatakan bahwa perang sabil melawan kaum kafir itu mutlak perlu. Saran dari Snouck Hoergronje ini berhasil menekan perjuangan rakyat setelah strategi itu benar-benar dilaksanakan oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Bahkan pada tahun 1891 Teungku Chik Di Tiro dan Panglima Polem gugur dalam pertempuran. Namun perlawanan tak Pernah berakhir, Pemerintah Kolonial Belanda menjadi pusing. Biaya perang membengkak menjadi $ 135.000.000,-. Untuk mengatasi ini Pemerintah di Istana Buitenzorg mengangkat Deykerhooff menjadi Gubernur Militer di Aceh untuk mengamankan daerah yang sulit ditundukkan itu. Setelah menjadi Gubernur di Aceh Deykerhooff berusaha untuk mendekati kaum bangsawan dan Uleebalang karena mereka dipandang sebagai pemberi dana perang kepada tentara Aceh. Siasat ini berhasil mendorong Teuku Umar berubah pendapat untuk berpihak kepada Belanda. Justru setelah adanya maklumat Pemerintah di Batavia yang akan mengampuni dan memberi hadiah besar kepada Teuku Umar jika ia mau menyerahkan diri dan membantu Belanda.
Di lain pihak Teuku Umar sendiri merasa bahwa pertempuran ini dianggap sangat menyengsarakan rakyat. Oleh karena itu, Teuku Umar berpendapat bahwa untuk memperbaiki nasib rakyat yang sangat menderita agar dapat bekerja sebagaimana biasanya dan para petani dapat ke sawah lagi mengerjakan sawah ladangnya, maka Teuku Umar perlu merubah taktik dengan cara menyerahkan diri kepada Belanda. Pada bulan September 1893, Teuku Umar menyerahkan diri kepada Gubernur Deykerhooff di Banda Aceh bersama dengan 13 orang Panglima bawahannya, setelah mendapat jaminan keselamatan dan pengampunan dari Gubernur Aceh tersebut. Setelah bersumpah setia Teuku Umar dihadiahi gelar Teuku Johan Pahlawan Panglima Besar Nederland. Rumahnya di Lampisang juga diperindah oleh Belanda sesuai dengan fungsinya sebagai tempat tinggal seorang Panglima Besar serta dilengkapi dengan 2 buah meriam kecil di halaman depan rumah. Sejak saat itu, pakaian yang dikenakannya adalah pakaian seorang Jenderal dengan beberapa buah bintang emas di dadanya. (Hazil, 1955 : 97).
Tugas-tugas yang harus dikerjakan yaitu menumpas perlawanan rakyat dan mengamankan seluruh daerah Aceh. Cut Nyak Dhien sangat marah terhadap Teuku Umar sebab ia tidak setuju dengan sikap suaminya yang nampak hanya mementingkan diri sendiri, yang hanya mengejar kemewahan dan kedudukan saja dengan mengorbankan kepentingan bangsanya. Sering terjadi percekcokan antara Umar dan istrinya Cut Nyak Dhien. Untuk menghindari percekcokan itu Teuku Umar selalu menghindarkan diri dari gugatan istrinya sehingga membuat Cut Nyak Dhien menjadi heran dan tidak mengerti sikap suaminya yang demikian itu. Teuku Umar menunjukkan kesetiaannya kepada Belanda dengan sangat meyakinkan. Setiap pejabat yang datang ke rumahnya selalu disambut dengan sangat menyenangkan. Setiap ada panggilan dari Gubemur Belanda di Banda Aceh ia selalu menemui dengan segera dan memberikan laporan yang memuaskan kepada Belanda, sehingga ia mendapat kepercayaan yang besar dari Gubernur Belanda. Kepercayaan dan penghargaan Belanda itu dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh Teuku Umar untuk mencapai maksudnya sendiri demi kepentingan perjuangan rakyat Aceh selanjutnya. Sebagai contoh, dalam peperangan Teuku Umar hanya melakukan perang pura-pura dan hanya memerangi Uleebalang yang memeras rakyat yang dipimpin Teuku Mat Amin. Anggota pasukannya disebarkan bukan untuk mengejar musuh, melainkan untuk menghubungi para Pemimpin pejuang Aceh dan menyampaikan pesan rahasia.
Sebenarnya Teuku Umar adalah seorang tokoh yang sulit dimengerti baik oleh lawan maupun oleh kawannya. Dalam perjuangannya ia mempunyai cara tersendiri yang sering kali sulit dipahami. Oleh karena itu, ia dianggap oleh teman-teman seperjuangannya sebagai tokoh yang kontroversial. (Anonim, 1995 : 74). Pada suatu hari di Lampisang Teuku Umar mengadakan Pertemuan rahasia yang dihadari pemimpin-pemimpin pejuag Aceh yang akan membicarakan rencana Teuku Umar untuk kembali memihak Aceh dengan membawa lari semua senjata dan perlengkapan perang milik Belanda yang dikuasainya. Pada huri itu Cut Nyak Dhien baru mengetahui dengan pasti bahwa selama ini suaminya telah bersandiwara dihadapan Belanda untuk mendapatkan keuntungan demi perjuangan Aceh. Bahkan gaji yang diberikan Belanda pada waktu memihak Belanda secara diam-diam oleh Teuku Umar dikirim kepada para pemimpin pejuang untuk membiayai perjuangannya dalam perang melawan Belanda.
Pada tanggal 30 September 1896, Teuku Umar dengan seluruh pasukannya meninggalkan Belanda untuk selama-lamanya dengan membawa lari 800 pucuk senjata, 25.000 butir peluru, 500 kg mesiu, 5 ton timah, $ 18.000,- uang tunai dan lain-lain alat militer yang berharga. Berita larinya Teuku Umar menggemparkan Pemerintah Kolonial Beianda. Dan hal ini sudah diduga oleh Snouck Hoergronje. la berpendapat Teuku Umar tidak pernah melepaskan sikapnya memusuhi Belanda. Apabila Gubernur menaruh kepercayaan besar kepada Umar, itu menandakan kebodohan Deyker Hooff dan kelicikan Teuku Umar. (H.C. Zentgraaff, 1982 : 257). Teuku Umar tidak memihak kepada Belanda, tetapi ia menjalankan taktiknya yang ternyata berhasil baik. Setelah mengalami kegagalan total politik damai mulai ditinggalkan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Gubernur Deykerhooff yang bertanggungjawab atas larinya Teuku Umar dipecat dan digantikan oleh Jenderal Vetter. (Hazil, 1955: 115-119). Jenderal Vetter mendapat tugas untuk memerangi Teuku Umar. Tentara baru segera didatangkan dari Pulau Jawa dengan 3 buah kapal perang yang kemudian dihimpun di Uleulheu. Menurut Jenderal Vetter, Teuku Umar harus diberi hukuman yang berat karena sangat merugikan Pemerintah Kolonial Belanda dengan cara yang sulit dipahami. (T. Syahbuddin Razi, 1976. 163).
Sementara Belanda sibuk mempersiapkan diri, Teuku Umar tidak tinggal diam. Ia menyusun kembali tentara Aceh yang cerai berai. Seluruh komando dari perang Aceh mulai tahun 1896 berada di bawah pimginan Teuku Umar. la dibantu oleh istrinya Cut Nyak Dhien dan Panglima Pang Laot. Teuku Umar mengajak uleebalang-uleebalang yang lain untuk memerangi Belanda. Barulah pertama kali dalam sejarah perang Aceh, tentara Aceh dipegang oleh satu komando, yaitu di bawah komando Teuku Umar. Teuku Umar mengerti bahwa ia harus berjuang mati-matian melawan Van Heutsz, musuh lamanya. Dalam maklumatnya Jenderal Vetter mengatakan bahwa Belanda hanya memerangi Teuku Umar dan bukan rakyat 4 Mukim dan 6 Mukim. Semua benteng yang didirikan dulu untuk Gubernemen, seperti Aneuk Galong, Seunelop, Lamkunyit, Bilul, Cot Rang dan Krueng Gelumpang diledakkan dan ditinggalkan oleh Belanda.
Sejak memulai perang, Vetter mengajukan tuntutannya kepada Umar. Ultimatumnya meminta segala senjata harus diserahkan kembali kepada Belanda. Umar tidak mau memenuhi tuntutan itu, maka pada tangga 26 April 1896 Teuku Johan Pahlawan dipecat sebagai Panglima Perang Besar dan Gubernemen Hindia Belanda dan sebagai Hulubalang Leupong. Ultimatum Jenderal Vetter dan ancaman Van Heutsz dibalas Teuku Umar dengan serbuan gencar sehingga perang berkobar lagi. Mengingat kekuatan Belanda lebih besar dan lebih lengkap persenjataannya, maka barisan Aceh semakin menipis karena banyak yang gugur dalam pertempuran. Dalam pada itu, Belanda terus menciptakan perangkap untuk menangkap Teuku Umar. Namun usaha Belanda tersebut selalu gagal karena Teuku Umar juga ahli dalam siasat perang. Melihat kelicinan dan kehebatan Teuku Umar, maka Gubernur Belanda di Aceh Van Vliet melaporkan kepada Pemerintahnya sebagai berikut: Meskipun Belanda bertindak terus menerus pihak Aceh tetap memberikan perlawanan, Belanda belum dapat menguasai pemberontakan ini, malah api pemberontakan tetap berkobar. Teuku Umar terus memberikan perlawanan yang sengit dan Leupong, dan usaha untuk menangkap Teuku Umar hidup atau mati gagal sama sekali. (Hazil, 1955 : 129).
Laporan Van Vliet ini memang sesuai dengan kenyataan karena biaya yang dikeluarkan oleh Pemerintah Hindia Belanda tidak sesuai dengan hasil yang dicapai. Berdasarkan hasil penyelidikan intelijen pada awal tahun 1897, Belanda mengetahui keberadaan Teuku Umar dan pasukannya di Loong. Dan segera dikirim pasukan Belanda ke sana untuk menangkapnya. Ketika sampai di tempat yang dituju, pasukan Umar telah menghindarkan diri ke lereng bukit dan menembaki pasukan Belanda dari tempat itu. Tentara Belanda berusaha untuk merebut lereng bukit itu, tetapi tidak berhasil. Sewaktu akan mundur, tentara Belanda kembali dihadang oleh pasukan Aceh. Di beberapa tempat dipasangi ranjau sehingga banyak meriam Belanda yang jatuh ke dalam lubang perangkap sehingga tentara Belanda banyak yang tewas dan senjatanya dapat dirampas.
Pada bulan Februari 1899 Jenderal Van Heutsz berada di Meulaboh dengan tanpa pengawalan yang ketat sebagaimana biasanya. Keadaan ini diketahui oleh Teuku Umar dari mata-matanya yang bertugas di sana. Untuk menangkap dan mencegat Jenderal Belanda tersebut, Teuku Umar bersama sejumlah pasukannya datang ke Meulaboh. Tetapi malang bagi Umar karena sebelum rencananya berhasil dilaksanakan, gerak-gerik Umar justru telah diketahui oleh Belanda Setelah mendengar laporan dari mata-matanya mengenai kedatangan Teuku Umar di Meulaboh, Jenderal Van Heutsz segera menempatkan sejumlah pasukan yang cukup kuat diperbatasan kota Meulaboh untuk mencegat Teuku Umar. Pada malam menjelang tanggal 11 Februari 1899 Teuku Umar bersama pasukannya telah berada di pinggiran kota Meulaboh. Pasukan Aceh terkejut ketika mengetahui pasukan Van Heutsz telah mencegatnya. Posisi pasukannya sudah tidak menguntungkan dan tidak mungkin lagi untuk mundur. Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan pasukannya adalah bertempur.

0 comments:

Post a Comment