Tuesday, April 29, 2014

Kerajaan Aceh

Pada awalnya, wilayah kerajaan Aceh ini hanya mencakup Banda Aceh dan Aceh Besar yang dipimpin oleh ayah Ali Mughayat Syah. Ketika Mughayat Syah naih tahta menggantikan ayahnya, ia berhasil memperkuat kekuatan dan mempersatukan wilayah Aceh dalam kekuasaannya, termasuk menaklukkan kerajaan Pasai. Saat itu, sekitar tahun 1511 M, kerajaan-kerajaan kecil yang terdapat di Aceh dan pesisir timur Sumatera seperti Peurelak (di Aceh Timur), Pedir (di Pidie), Daya (Aceh Barat Daya) dan Aru (di Sumatera Utara) sudah berada di bawah pengaruh kolonial Portugis. Mughayat Syah dikenal sangat anti pada Portugis, karena itu, untuk menghambat pengaruh Portugis, kerajaan-kerajaan kecil tersebut kemudian ia taklukkan dan masukkan ke dalam wilayah kerajaannya. Sejak saat itu, kerajaan Aceh lebih dikenal dengan nama Aceh Darussalam dengan wilayah yang luas, hasil dari penaklukan kerajaan-kerajaan kecil di sekitarnya.
Hubungan dengan Perancis juga terjalin dengan baik. Pada masa itu, Perancis pernah mengirim utusannya ke Aceh dengan membawa hadiah sebuah cermin yang sangat berharga. Namun, cermin ini ternyata pecah dalam perjalanan menuju Aceh. Hadiah cermin ini tampaknya berkaitan dengan kegemaran Sultan Iskandar Muda pada benda-benda berharga. Saat itu, Iskandar Muda merupakan satu-satunya raja Melayu yang memiliki Balee Ceureumeen (Aula Kaca) di istananya yang megah, Istana Dalam Darud Dunya. Konon, menurut utusan Perancis tersebut, luas istana Aceh saat itu tak kurang dari dua kilometer. Di dalam istana tersebut, juga terdapat ruang besar yang disebut Medan Khayali dan Medan Khaerani yang mampu menampung 300 ekor pasukan gajah, dan aliran sungai Krueng yang telah dipindahkan dari lokasi asal alirannya.
Ketika Iskandar Muda meninggal dunia tahun 1636 M, yang naik sebagai penggantinya adalah Sultan Iskandar Thani Ala‘ al-Din Mughayat Syah (1636-1641M). Di masa kekuasaan Iskandar Thani, Aceh masih berhasil mempertahankan masa kejayaannya. Penerus berikutnya adalah Sri Ratu Safi al-Din Taj al-Alam (1641-1675 M), putri Iskandar Muda dan permaisuri Iskandar Thani. Hingga tahun 1699 M, Aceh secara berturut-turut dipimpin oleh empat orang ratu. Di masa ini, kerajaan Aceh sudah mulai memasuki era kemundurannya. Salah satu penyebabnya adalah terjadinya konflik internal di Aceh, yang disebabkan penolakan para ulama Wujudiyah terhadap pemimpin perempuan. Para ulama Wujudiyah saat itu berpandangan bahwa, hukum Islam tidak membolehkan seorang perempuan menjadi pemimpin bagi laki-laki. Kemudian terjadi konspirasi antara para hartawan dan uleebalang, dan dijustifikasi oleh pendapat para ulama yang akhirnya berhasil memakzulkan Ratu Kamalat Syah. Sejak saat itu, berakhirlah era sultanah di Aceh.
Memasuki paruh kedua abad ke-18, Aceh mulai terlibat konflik dengan Belanda dan Inggris yang memuncak pada abad ke-19. Pada akhir abad ke-18 tersebut, wilayah kekuasaan Aceh di Semenanjung Malaya, yaitu Kedah dan Pulau Pinang dirampas oleh Inggris. Pada tahun 1871 M, Belanda mulai mengancam Aceh atas restu dari Inggris, dan pada 26 Maret 1873 M, Belanda secara resmi menyatakan perang terhadap Aceh. Dalam perang tersebut, Belanda gagal menaklukkan Aceh. Pada tahun 1883, 1892 dan 1893 M, perang kembali meletus, namun, lagi-lagi Belanda gagal merebaut Aceh. Pada saat itu, Belanda sebenarnya telah putus asa untuk merebut Aceh, hingga akhirnya, Snouck Hurgronye, seorang sarjana dari Universitas Leiden, menyarankan kepada pemerintahnya agar mengubah fokus serangan, dari sultan ke ulama. Menurutnya, tulang punggung perlawanan rakyat Aceh adalah para ulama, bukan sultan. Oleh sebab itu, untuk melumpuhkan perlawanan rakyat Aceh, maka serangan harus diarahkan kepada para ulama. Saran ini kemudian diikuti oleh pemerintah Belanda dengan menyerang basis-basis para ulama, sehingga banyak masjid dan madrasah yang dibakar Belanda.
Saran Snouck Hurgronye membuahkan hasil: Belanda akhirnya sukses menaklukkan Aceh. J.B. van Heutsz, sang panglima militer, kemudian diangkat sebagai gubernur Aceh. Pada tahun 1903, kerajaan Aceh berakhir seiring dengan menyerahnya Sultan M. Dawud kepada Belanda. Pada tahun 1904, hampir seluruh Aceh telah direbut oleh Belanda. Walaupun demikian, sebenarnya Aceh tidak pernah tunduk sepenuhnya pada Belanda. Perlawanan yang dipimpin oleh tokoh-tokoh masyarakat tetap berlangsung. Sebagai catatan, selama perang Aceh, Belanda telah kehilangan empat orang jenderalnya yaitu: Mayor Jenderal J.H.R Kohler, Mayor Jenderal J.L.J.H. Pel, Demmeni dan Jenderal J.J.K. De Moulin.
Kekuasaan Belanda berlangsung hampir setengah abad, dan berakhir seiring dengan masuknya Jepang ke Aceh pada 9 Februari 1942. Saat itu, kekuatan militer Jepang mendarat di wilayah Ujong Batee, Aceh Besar. Kedatangan mereka disambut oleh tokoh-tokoh pejuang Aceh dan masyarakat umum. Hubungan baik dengan Jepang tidak berlangsung lama. Ketika Jepang mulai melakukan pelecehan terhadap perempuan Aceh dan memaksa masyarakat untuk membungkuk pada matahari terbit, maka, saat itu pula mulai timbul perlawanan. Di antara tokoh yang dikenal gigih melawan Jepang adalah Teungku Abdul Jalil. Kekuasaan para penjajah berakhir ketika Indonesia merdeka dan Aceh bergabung ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Berikut ini daftar para sultan yang pernah berkuasa di kerajaan Aceh Darussalam:
1. Sultan Ali Mughayat Syah (1496-1528 M)
2. Sultan Salahuddin (1528-1537).
3. Sultan Ala‘ al-Din al-Kahhar (1537-1568).
4. Sultan Husein Ali Riayat Syah (1568-1575)
5. Sultan Muda (1575)
6. Sultan Sri Alam (1575-1576).
7. Sultan Zain al-Abidin (1576-1577).
8. Sultan Ala‘ al-Din Mansur Syah (1577-1589)
9. Sultan Buyong (1589-1596)
10. Sultan Ala‘ al-Din Riayat Syah Sayyid al-Mukammil (1596-1604).
11. Sultan Ali Riayat Syah (1604-1607)
12. Sultan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam (1607-1636).
13. Iskandar Thani (1636-1641).
14. Sri Ratu Safi al-Din Taj al-Alam/Paduka Sri Sultanah Ratu Safiatuddin Tajul-’Alam Shah Johan Berdaulat Zillu’llahi fi’l-’Alam binti al-Marhum Sri Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam Shah(1641-1675).
15. Sri Ratu Naqi al-Din Nur al-Alam/Sultanah Nurul Alam Naqiyatuddin Syah (1675-1678)
16. Sri Ratu Zaqi al-Din Inayat Syah/Sultanah Zakiatuddin Inayat Syah(1678-1688)
17. Sri Ratu Kamalat Syah Zinat al-Din/Sultanah Zinatuddin Kamalat Syah (1688-1699)
18. Sultan Badr al-Alam Syarif Hashim Jamal al-Din (1699-1702)
19. Sultan Perkasa Alam Syarif Lamtui (1702-1703)
20. Sultan Jamal al-Alam Badr al-Munir (1703-1726)
21. Sultan Jauhar al-Alam Amin al-Din (1726)
22. Sultan Syams al-Alam (1726-1727)
23. Sultan Ala‘ al-Din Ahmad Syah (1727-1735)
24. Sultan Ala‘ al-Din Johan Syah (1735-1760)
25. Sultan Mahmud Syah (1760-1781)
26. Sultan Badr al-Din (1781-1785)
27. Sultan Sulaiman Syah (1785-…)
28. Alauddin Muhammad Daud Syah.
29. Sultan Ala‘ al-Din Jauhar al-Alam (1795-1815) dan (1818-1824)
30. Sultan Syarif Saif al-Alam (1815-1818)
31. Sultan Muhammad Syah (1824-1838)
32. Sultan Sulaiman Syah (1838-1857)
33. Sultan Mansur Syah (1857-1870)
34. Sultan Mahmud Syah (1870-1874)
35. Sultan Muhammad Daud Syah (1874-1903)
Dalam sejarah nasional Indonesia, Aceh sering disebut sebagai Negeri Serambi Mekah, karena Islam masuk pertama kali ke Indonesia melalui kawasan paling barat pulau Sumatera ini. Sesuai dengan namanya, Serambi Mekah, orang Aceh mayoritas beragama Islam dan kehidupan mereka sehari-hari sangat dipengaruhi oleh ajaran Islam ini. Oleh sebab itu, para ulama merupakan salah satu sendi kehidupan masyarakat Aceh. Selain dalam keluarga, pusat penyebaran dan pendidikan agama Islam berlangsung di dayah dan rangkang (sekolah agama). Guru yang memimpin pendidikan dan pengajaran di dayah disebut dengan teungku. Jika ilmunya sudah cukup dalam, maka para teungku tersebut mendapat gelar baru sebagai Teungku Chiek. Di kampung-kampung, urusan keagamaan masyarakat dipimpin oleh seseorang yang disebut dengan tengku meunasah.
Lapisan sosial masyarakat Aceh berbasis pada jabatan struktural, kualitas keagamaan dan kepemilikan harta benda. Mereka yang menduduki jabatan struktural di kerajaan menduduki lapisan sosial tersendiri, lapisan teratasnya adalah sultan, dibawahnya ada para penguasa daerah. Sedangkan lapisan berbasis keagamaan merupakan lapisan yang merujuk pada status dan peran yang dimainkan oleh seseorang dalam kehidupan keagamaan. Dalam lapisan ini, juga terdapat kelompok yang mengaku sebagai keturunan Nabi Muhammad. Mereka ini menempati posisi istimewa dalam kehidupan sehari-hari, yang laki-laki bergelar Sayyed, dan yang perempuan bergelar Syarifah. Lapisan sosial lainnya dan memegang peranan sangat penting adalah para orang kaya yang menguasai perdagangan, saat itu komoditasnya adalah rempah-rempah, dan yang terpenting adalah lada.

0 comments:

Post a Comment