Mingggu pagi itu, pada 26 Desember
2004, Banda Aceh diguncang gempa dahsyat 8,9
SR yang kemudian disusul dengan datangnya air
bah tsunami dari arah pantai yang maha dahsyat.
Bencana tsunami tercatat sebagai peristiwa paling
tragis karena menewaskan lebih dari 240.000 jiwa
dan meluluhlantakkan kota-kota di pesisir barat
Aceh. Bahkan tsunami juga menerjang negeri
tetangga seperti Malaysia, Thailand, Bangladesh
hingga India.
Kota Banda Aceh seketika hancur, lumpuh, bahkan
rata dengan tanah. Hanya beberapa bangunan
yang masih kokoh berdiri dan menjadi tempat
berlindung warga yang selamat dari terjangan
gelombang dahsyat itu.
Kini, setelah 9 tahun lebih telah dilewati, Aceh
mulai bangkit. Roda perekonomian masyarakat
Aceh mulai bergulir. Bahkan, sisa-sisa keganasan
tsunami 2004 itu kini dijadikan museum dan
tempat wisata.
Jika Anda berkesempatan mengunjungi Kota Bumi
Serambi Mekkah ini, jangan lewatkan 6 objek
wisata mengenang tsunami tersebut. Yakni
2004, Banda Aceh diguncang gempa dahsyat 8,9
SR yang kemudian disusul dengan datangnya air
bah tsunami dari arah pantai yang maha dahsyat.
Bencana tsunami tercatat sebagai peristiwa paling
tragis karena menewaskan lebih dari 240.000 jiwa
dan meluluhlantakkan kota-kota di pesisir barat
Aceh. Bahkan tsunami juga menerjang negeri
tetangga seperti Malaysia, Thailand, Bangladesh
hingga India.
Kota Banda Aceh seketika hancur, lumpuh, bahkan
rata dengan tanah. Hanya beberapa bangunan
yang masih kokoh berdiri dan menjadi tempat
berlindung warga yang selamat dari terjangan
gelombang dahsyat itu.
Kini, setelah 9 tahun lebih telah dilewati, Aceh
mulai bangkit. Roda perekonomian masyarakat
Aceh mulai bergulir. Bahkan, sisa-sisa keganasan
tsunami 2004 itu kini dijadikan museum dan
tempat wisata.
Jika Anda berkesempatan mengunjungi Kota Bumi
Serambi Mekkah ini, jangan lewatkan 6 objek
wisata mengenang tsunami tersebut. Yakni
Megah namum mencekam. Itulah kesan yang
timbul saat melihat bangunan
Museum Tsunami
Betapa tidak, museum yang didesain oleh Wali
Kota Bandung Ridwan Kamil yang saat itu menjadi
dosen Institut Teknologi Bandug (ITB) itu menjadi
penanda bencana mahadahsyat tsunami.
Gedung yang diberi nama Rumoh Aceh as Escape
Hill ini berwarna cokelat dengan tembok
berlubang-lubang. Jika diperhatikan dari atas akan
tampak seperti gelombang tsunami. Namun, bila
diperhatikan dari samping akan tampak seperti
kapal lengkap dengan cerobong asap dan geladak
yang luas sebagai ecape building.
Museum yang dibangun sejak 2006 oleh Badan
Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Nangroe Aceh
Darussalam-Nias ini menjadi lokasi pertama dan
terlengkap menyajikan rekam jejak tsunami. Di
dalamnya terdapat video, foto, serta alat peraga
tsunami.
Saat memasuki halaman museum, pengunjung
akan menemukan bangkai helikopter milik Polri
yang menjadi saksi bisu keganasan gelombang
tsunami. Helikopter itu tidak sempat terbang
akibat telah dilumat terlebih dahulu oleh gulungan
ombak tsunami.
Berjarak sekitar 1 Km dari Masjid Raya Banda
Aceh, museum ini terlihat mencolok dibandingkan
dengan bangunan lainnya. Museum yang
menghabiskan dana Rp140 miliar ini memiliki efek
4 dimensi dalam menggambarkan bencana
tsunami.
Museum ini diresmikan oleh Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono pada 23 Februari 2008.
Museum tsunami Aceh lokasinya terdapat di jalan
Iskandar Muda Banda Aceh.
Lokasinya berada tepat di tengah-tengah ibukota
Provinsi Aceh dan bersebelahan tempat wisata
bersejarah lain seperti Peutjoet, Kerkhoff, Blang
Padang, serta Taman Sari.
timbul saat melihat bangunan
Museum Tsunami
Betapa tidak, museum yang didesain oleh Wali
Kota Bandung Ridwan Kamil yang saat itu menjadi
dosen Institut Teknologi Bandug (ITB) itu menjadi
penanda bencana mahadahsyat tsunami.
Gedung yang diberi nama Rumoh Aceh as Escape
Hill ini berwarna cokelat dengan tembok
berlubang-lubang. Jika diperhatikan dari atas akan
tampak seperti gelombang tsunami. Namun, bila
diperhatikan dari samping akan tampak seperti
kapal lengkap dengan cerobong asap dan geladak
yang luas sebagai ecape building.
Museum yang dibangun sejak 2006 oleh Badan
Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Nangroe Aceh
Darussalam-Nias ini menjadi lokasi pertama dan
terlengkap menyajikan rekam jejak tsunami. Di
dalamnya terdapat video, foto, serta alat peraga
tsunami.
Saat memasuki halaman museum, pengunjung
akan menemukan bangkai helikopter milik Polri
yang menjadi saksi bisu keganasan gelombang
tsunami. Helikopter itu tidak sempat terbang
akibat telah dilumat terlebih dahulu oleh gulungan
ombak tsunami.
Berjarak sekitar 1 Km dari Masjid Raya Banda
Aceh, museum ini terlihat mencolok dibandingkan
dengan bangunan lainnya. Museum yang
menghabiskan dana Rp140 miliar ini memiliki efek
4 dimensi dalam menggambarkan bencana
tsunami.
Museum ini diresmikan oleh Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono pada 23 Februari 2008.
Museum tsunami Aceh lokasinya terdapat di jalan
Iskandar Muda Banda Aceh.
Lokasinya berada tepat di tengah-tengah ibukota
Provinsi Aceh dan bersebelahan tempat wisata
bersejarah lain seperti Peutjoet, Kerkhoff, Blang
Padang, serta Taman Sari.
Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) Apung,
kapal seberat 2.600 ton milik PT Perusahaan
Listrik Negara (Persero) ini menjadi bukti
keganasan gelombang tsunami.
Kapal dengan panjang 63 meter dan luas 1.900
meter persegi ini terseret gelombang tsunami dari
Pantai Ulee Lheue sejauh 5 Km. Kapal ini
kemudian terdampar di Gampong Punge Blang Cut
Kota Banda Aceh.
PLTD Apung ini pada awalnya didatangkan ke
Banda Aceh guna memenuhi kebutuhan pasokan
listrik di kota tersebut sebesar 10,5 Megawatt.
Pasalnya, saat terjadi konflik di Aceh, banyak
menara listrik PLN yang dirobohkan sehingga
pasokan listrik terganggu.
Kini, PLTD Apung yang tersapu ombak itu tetap
berada di tengah kota dan dijadikan monumen
peringatan tsunami. Pemerintah Provinsi Aceh
membuat taman edukasi di sekitar monumen PLTD
Apung seluas 2 hektare.
Taman edukasi dilengkapi dengan catatan-catatan
informasi tsunami berikut foto-foto yang
diabadikan saat bencana itu menerjang.
Jembatan-jembatan telah dibangun agar
pengunjung dapat menikmati wisata di PLTD Apung
itu.
Tidak jauh dari PLTD, terdapat sebuah prasasti
setinggi 2,5 meter. Prasasti berbentuk jam bundar
itu menunjukkan waktu pukul 07.55 WIB, tepat saat
gelombang tsunami menyapu Aceh. Pada miniatur
gelombang tsunami juga terdapat gambar timbul
berbentuk rumah dan manusia hanyut tersapu
tsunami.
kapal seberat 2.600 ton milik PT Perusahaan
Listrik Negara (Persero) ini menjadi bukti
keganasan gelombang tsunami.
Kapal dengan panjang 63 meter dan luas 1.900
meter persegi ini terseret gelombang tsunami dari
Pantai Ulee Lheue sejauh 5 Km. Kapal ini
kemudian terdampar di Gampong Punge Blang Cut
Kota Banda Aceh.
PLTD Apung ini pada awalnya didatangkan ke
Banda Aceh guna memenuhi kebutuhan pasokan
listrik di kota tersebut sebesar 10,5 Megawatt.
Pasalnya, saat terjadi konflik di Aceh, banyak
menara listrik PLN yang dirobohkan sehingga
pasokan listrik terganggu.
Kini, PLTD Apung yang tersapu ombak itu tetap
berada di tengah kota dan dijadikan monumen
peringatan tsunami. Pemerintah Provinsi Aceh
membuat taman edukasi di sekitar monumen PLTD
Apung seluas 2 hektare.
Taman edukasi dilengkapi dengan catatan-catatan
informasi tsunami berikut foto-foto yang
diabadikan saat bencana itu menerjang.
Jembatan-jembatan telah dibangun agar
pengunjung dapat menikmati wisata di PLTD Apung
itu.
Tidak jauh dari PLTD, terdapat sebuah prasasti
setinggi 2,5 meter. Prasasti berbentuk jam bundar
itu menunjukkan waktu pukul 07.55 WIB, tepat saat
gelombang tsunami menyapu Aceh. Pada miniatur
gelombang tsunami juga terdapat gambar timbul
berbentuk rumah dan manusia hanyut tersapu
tsunami.
Kapal nelayan ini menjadi bukti keganasan
gelombang tsunami berikutnya. Kapal yang saat
itu baru selesai diperbaiki terseret ombak sejauh 3
Km dan mendarat tepat di atas sebuah rumah
milik penduduk di Gampong Lampulo, Banda Aceh.
Masyarakat Banda Aceh kemudian menyebutnya
dengan kapal apung Lampulo. Kapal ini tercatat
telah menyelamatkan nyawa 59 orang yang
menumpang di atasnya dari hempasan dahsyat
tsunami.
Dari informasi di lokasi yang kini menjadi objek
wisata tsunami itu menyebutkan sebelum kejadian
dahsyat tersebut, kapal kayu dengan panjang 25
meter dan lebar 5,5 meter ini baru selesai
menjalani perbaikan di tempat docking kapal
Lampulo.
Adun, sang penjaga kapal sebelumnya mendapat
instruksi untuk menurunkan kapal tersebut ke
sungai pada hari itu, 26 Desember 2004.
Teuku Zulfikar yang berdomisili di Medan mendapat
kabar dari adiknya Hasri dan Saiful bahwa kapal
itu rencananya akan dibawa ke Lhoknga untuk diisi
pukat.
Sebelum rencana itu berjalan, tsunami telah
terlebih dahulu menghanyutkan kapal berbobot 20
ton ini ke perumahan warga yang berjarak sekitar
3 Km dari tepi sungai.
Saat ini, Kapal yang mendapat julukan 'Kapal Nuh'
dari masyarakat Aceh ini ramai dikunjungi
wisatawan baik lokal maupun mancanegara.
Kebanyakan dari mereka ingin menyaksikan
langsung bagaimana sebuah kapal yang menjadi
saksi bisu dahsyatnya gelombang tsunami pada
2004 silam.
gelombang tsunami berikutnya. Kapal yang saat
itu baru selesai diperbaiki terseret ombak sejauh 3
Km dan mendarat tepat di atas sebuah rumah
milik penduduk di Gampong Lampulo, Banda Aceh.
Masyarakat Banda Aceh kemudian menyebutnya
dengan kapal apung Lampulo. Kapal ini tercatat
telah menyelamatkan nyawa 59 orang yang
menumpang di atasnya dari hempasan dahsyat
tsunami.
Dari informasi di lokasi yang kini menjadi objek
wisata tsunami itu menyebutkan sebelum kejadian
dahsyat tersebut, kapal kayu dengan panjang 25
meter dan lebar 5,5 meter ini baru selesai
menjalani perbaikan di tempat docking kapal
Lampulo.
Adun, sang penjaga kapal sebelumnya mendapat
instruksi untuk menurunkan kapal tersebut ke
sungai pada hari itu, 26 Desember 2004.
Teuku Zulfikar yang berdomisili di Medan mendapat
kabar dari adiknya Hasri dan Saiful bahwa kapal
itu rencananya akan dibawa ke Lhoknga untuk diisi
pukat.
Sebelum rencana itu berjalan, tsunami telah
terlebih dahulu menghanyutkan kapal berbobot 20
ton ini ke perumahan warga yang berjarak sekitar
3 Km dari tepi sungai.
Saat ini, Kapal yang mendapat julukan 'Kapal Nuh'
dari masyarakat Aceh ini ramai dikunjungi
wisatawan baik lokal maupun mancanegara.
Kebanyakan dari mereka ingin menyaksikan
langsung bagaimana sebuah kapal yang menjadi
saksi bisu dahsyatnya gelombang tsunami pada
2004 silam.
Masjid Raya Baiturrahman mencatat lembaran
sejarah yang begitu melekat bagi masyarakat
Banda Aceh. Masjid yang berada tepat di jantung
Kota Banda Aceh ini menjadi tempat berlindung
ribuan orang saat tsunami menyapu kota.
Masjir Raya Baiturrahman dibangun oleh Sultan
Iskandar Muda pada 1022 Hijriyah/1612 Masehi.
Masjid ini kemudian terbakar habis pada saat
agresi militer Belanda kedua pada April 1873.
Empat tahun setelah Masjid Raya Baiturrahman itu
terbakar, pada pertengahan shafar 1294 H/Maret
1877 M, dengan mengulangi janji jenderal Van
Sweiten, maka Gubernur Jenderal Van Lansberge
menyatakan akan membangun kembali Masjid
Raya Baiturrahman yang telah terbakar itu.
Pernyataan ini diumumkan setelah diadakan
permusyawaratan dengan kepala-kepala Negeri
sekitar Banda Aceh. Dimana disimpulkan bahwa
pengaruh Masjid sangat besar kesannya bagi
rakyat Aceh yang 100% beragama Islam.
Pada tahun 1992, dilakukan pembangunan dengan
penambahan dua kubah dan lima menara. Selain
itu, dilakukan perluasan halaman masjid sehingga
total luas area masjid saat ini menjadi 16.070
meter persegi.
Saat gelombang tsunami setinggi 21 meter
menghantam pesisir Banda Aceh pada 26
Desember 2004, masjid ini termasuk bangunan
yang selamat, meskipun terjadi kerusakan di
beberapa bagian masjid.
Upaya renovasi pasca-tsunami menelan dana
sebesar Rp20 miliar. Dana tersebut berasal dari
bantuan dunia internasional, antara lain Saudi
Charity Campaign. Proses renovasi selesai pada 15
Januari 2008.
sejarah yang begitu melekat bagi masyarakat
Banda Aceh. Masjid yang berada tepat di jantung
Kota Banda Aceh ini menjadi tempat berlindung
ribuan orang saat tsunami menyapu kota.
Masjir Raya Baiturrahman dibangun oleh Sultan
Iskandar Muda pada 1022 Hijriyah/1612 Masehi.
Masjid ini kemudian terbakar habis pada saat
agresi militer Belanda kedua pada April 1873.
Empat tahun setelah Masjid Raya Baiturrahman itu
terbakar, pada pertengahan shafar 1294 H/Maret
1877 M, dengan mengulangi janji jenderal Van
Sweiten, maka Gubernur Jenderal Van Lansberge
menyatakan akan membangun kembali Masjid
Raya Baiturrahman yang telah terbakar itu.
Pernyataan ini diumumkan setelah diadakan
permusyawaratan dengan kepala-kepala Negeri
sekitar Banda Aceh. Dimana disimpulkan bahwa
pengaruh Masjid sangat besar kesannya bagi
rakyat Aceh yang 100% beragama Islam.
Pada tahun 1992, dilakukan pembangunan dengan
penambahan dua kubah dan lima menara. Selain
itu, dilakukan perluasan halaman masjid sehingga
total luas area masjid saat ini menjadi 16.070
meter persegi.
Saat gelombang tsunami setinggi 21 meter
menghantam pesisir Banda Aceh pada 26
Desember 2004, masjid ini termasuk bangunan
yang selamat, meskipun terjadi kerusakan di
beberapa bagian masjid.
Upaya renovasi pasca-tsunami menelan dana
sebesar Rp20 miliar. Dana tersebut berasal dari
bantuan dunia internasional, antara lain Saudi
Charity Campaign. Proses renovasi selesai pada 15
Januari 2008.
Gelombang tsunami yang menelan korban jiwa
hingga mencapai 240.000 orang tidak hilang dari
ingatan masyarakat Aceh. Di Bumi Rencong itu
terdapat banyak kuburan massal untuk
memakamkan para korban tsunami.
Salah satu kuburan massal yang paling banyak
terdapat korban dimakamkan adalah di Ulee Lheue
dan Siron, Kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar.
Korban yang dikuburkan di kuburan missal Ulee
Lheue lebih dari 14.264 orang. Kuburan massal ini
biasanya dipadati peziarah yang kehilangan sanak
keluarganya saat bencana tsunami meyapu pesisir
Aceh pada 26 Desember 2004 silam.
Kuburan massal Ulee Lheue dibangun seperti
sebuah taman dengan rumput hijau dan pepohonan
rindang. Kuburan massal ini dipagari tembok yang
masih dapat dilihat dari luar areal.
Lokasi kuburan yang berada tepat di tepi jalan
menuju Pelabuhan Ulee Lheue tepatnya di Jalan
Pocut Baren Nomor 30, ini memang mudah
dijangkau. Di depan areal juga terdapat prasasti
yang bertuliskan kuburan massal.
Pada gerbang masuk kuburan massal berwarna
hijau ini terdapat tulisan yang diambil dari salah
satu surat dalam Al-Quran. Tulisan ini membuat
bulu kuduk berdiri dan siapapun akan langsung
merasakan kengerian bencana tsunami.
"Tiap yang berjiwa pasti akan merasakan mati.
Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan
kebaikan sebagai cobaan. Dan hanya kepada
Kami-lah kamu dikembalikan," (Al-Anbiya : 35).
Selain di kuburan massal Ulee Lheue, terdapat juga
beberapa kuburan massal lainnya antara lain
kuburan massal Lhoknga, Aceh Besar dan kuburan
massal Siron di Jalan Bandara Sultan Iskandar
Muda.
Di kuburan massal Siron, menjadi areal pekuburan
massal terbesar di Aceh. Tercatat hampir 50.000
korban tsunami dimakamkan di areal ini sehingga
kuburan massal tersebut paling banyak dikunjungi
peziarah.
hingga mencapai 240.000 orang tidak hilang dari
ingatan masyarakat Aceh. Di Bumi Rencong itu
terdapat banyak kuburan massal untuk
memakamkan para korban tsunami.
Salah satu kuburan massal yang paling banyak
terdapat korban dimakamkan adalah di Ulee Lheue
dan Siron, Kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar.
Korban yang dikuburkan di kuburan missal Ulee
Lheue lebih dari 14.264 orang. Kuburan massal ini
biasanya dipadati peziarah yang kehilangan sanak
keluarganya saat bencana tsunami meyapu pesisir
Aceh pada 26 Desember 2004 silam.
Kuburan massal Ulee Lheue dibangun seperti
sebuah taman dengan rumput hijau dan pepohonan
rindang. Kuburan massal ini dipagari tembok yang
masih dapat dilihat dari luar areal.
Lokasi kuburan yang berada tepat di tepi jalan
menuju Pelabuhan Ulee Lheue tepatnya di Jalan
Pocut Baren Nomor 30, ini memang mudah
dijangkau. Di depan areal juga terdapat prasasti
yang bertuliskan kuburan massal.
Pada gerbang masuk kuburan massal berwarna
hijau ini terdapat tulisan yang diambil dari salah
satu surat dalam Al-Quran. Tulisan ini membuat
bulu kuduk berdiri dan siapapun akan langsung
merasakan kengerian bencana tsunami.
"Tiap yang berjiwa pasti akan merasakan mati.
Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan
kebaikan sebagai cobaan. Dan hanya kepada
Kami-lah kamu dikembalikan," (Al-Anbiya : 35).
Selain di kuburan massal Ulee Lheue, terdapat juga
beberapa kuburan massal lainnya antara lain
kuburan massal Lhoknga, Aceh Besar dan kuburan
massal Siron di Jalan Bandara Sultan Iskandar
Muda.
Di kuburan massal Siron, menjadi areal pekuburan
massal terbesar di Aceh. Tercatat hampir 50.000
korban tsunami dimakamkan di areal ini sehingga
kuburan massal tersebut paling banyak dikunjungi
peziarah.
Monumen Aceh Thanks to the World terletak di
Blang Padang, tepat di depan Museum Tsunami
Aceh. Monumen ini menjadi simbol syukur
masyarakat Aceh kepada relawan, LSM, lembaga-
lembaga negara, perusahaan, sipil, militer, baik
nasional maupun internasional yang telah
membantu Aceh pasca-tsunami.
Bangunan berwarna putih tersebut terletak di
sebelah utara lapangan berbentuk seperti
gelombang tsunami yang mengingatkan siapa saja
yang melihatnya bahwa Aceh pernah dilanda
bencana mahadahsyat gelombang tsunami.
Selain monumen, rakyat Aceh mengucapkan terima
kasih mereka kepada negara-negara tersebut yang
telah memberikan kontribusi untuk rehabilitasi dan
rekonstruksi Aceh melalui prasasti/plakat
persahabatan.
Disepanjang jogging track yang mengelilingi
lapangan Blang Padang sepanjang 1 Km, terdapat
53 “Plakat Thank You and Peace”.
Plakat yang berbentuk kapal hampir tenggelam itu
merupakan bentuk terima kasih masyarakat Aceh
kepada 53 negara dan masyarakat dunia yang
telah membantu Aceh pasca tsunami.
Pada plakat tersebut tertulis nama negara, bendera
negara, dan rasa syukur ekspresi ‘Terimakasih dan
Damai’ dalam bahasa masing-masing negara.
Contohnya tugu kecil Republik Finlandia yang
bertuliskan “Kiitos Rauha” yang artinya “Terima
Kasih dan Damai”.
Pada awalnya lapangan Blang Padang seluas 8
Hektare itu tidak seperti sekarang ini. Dulunya
lapangan ini hanya di gunakan bila ada upacara-
upacara bendera yang dilakukan oleh Pemerintah
Provinsi Aceh.
Namun, kini lapangan Blang Padang Banda Aceh
telah berubah menjadi alun-alunnya kota Banda
Aceh semenjak lapangan ini di renovasi pasca
kerusakan akibat gempa dan tsunami Aceh.
Blang Padang, tepat di depan Museum Tsunami
Aceh. Monumen ini menjadi simbol syukur
masyarakat Aceh kepada relawan, LSM, lembaga-
lembaga negara, perusahaan, sipil, militer, baik
nasional maupun internasional yang telah
membantu Aceh pasca-tsunami.
Bangunan berwarna putih tersebut terletak di
sebelah utara lapangan berbentuk seperti
gelombang tsunami yang mengingatkan siapa saja
yang melihatnya bahwa Aceh pernah dilanda
bencana mahadahsyat gelombang tsunami.
Selain monumen, rakyat Aceh mengucapkan terima
kasih mereka kepada negara-negara tersebut yang
telah memberikan kontribusi untuk rehabilitasi dan
rekonstruksi Aceh melalui prasasti/plakat
persahabatan.
Disepanjang jogging track yang mengelilingi
lapangan Blang Padang sepanjang 1 Km, terdapat
53 “Plakat Thank You and Peace”.
Plakat yang berbentuk kapal hampir tenggelam itu
merupakan bentuk terima kasih masyarakat Aceh
kepada 53 negara dan masyarakat dunia yang
telah membantu Aceh pasca tsunami.
Pada plakat tersebut tertulis nama negara, bendera
negara, dan rasa syukur ekspresi ‘Terimakasih dan
Damai’ dalam bahasa masing-masing negara.
Contohnya tugu kecil Republik Finlandia yang
bertuliskan “Kiitos Rauha” yang artinya “Terima
Kasih dan Damai”.
Pada awalnya lapangan Blang Padang seluas 8
Hektare itu tidak seperti sekarang ini. Dulunya
lapangan ini hanya di gunakan bila ada upacara-
upacara bendera yang dilakukan oleh Pemerintah
Provinsi Aceh.
Namun, kini lapangan Blang Padang Banda Aceh
telah berubah menjadi alun-alunnya kota Banda
Aceh semenjak lapangan ini di renovasi pasca
kerusakan akibat gempa dan tsunami Aceh.
0 comments:
Post a Comment