Wednesday, August 20, 2014

RATU NAHRASIYAH

Dr. C. Snouck Hurgronje terkagum-kagum menyaksikan sebuah makam yang demikian indah di situs purbakala Kerajaan Samudera Pasai di Aceh Utara. Makam yang terbuat dari pualam itu, merupakan makam yang terindah di Asia Tenggara. Makam yang dihiasai dengan ayat – ayat Quran tersebut, adalah makam seorang raja perempuan bernama Nahrasiyah. Ratu tersebut tentu seorang raja yang besar, terbukti dari hiasan makamnya yang sangat istimewa. Ratu merupakan putri Sultan Zain al-Abidin. Sayang, sedikit sekali sumber sejarah tentang dirinya – yang memerintah lebih dari 20 tahun. Kerajaan Samudera Pasai senantiasa mengeluarkan mata uang emas. Namun, kepunyaan Ratu sampai saat ini belum ditemukan. Sementara itu, dirham ayahnya ditemukan – dimana disisi depan mata uang tersebut tercantum “Zainal Abidin Malik az-Zahir”.Nama Sultan Zain al-Abidin dalam berita–berita Tiongkok dikenal dengan Tsai-nu-li-a-ting-ki. Kronika Dinasti Ming (1368-1643) menyebutkan, Raja ini mengirimkan utusan-utusannya yang ditemani oleh sida-sida China, Yin Ching kepada mahararaja China, Ch’engtsu (1403-1424). Maharaja China kemudian mengeluarkan dekrit pengangkatannya sebagai Raja Samudera dan memberikan sebuah cap kerajaan dan pakaian kerajaan. Pada tahun 1415 Laksamana Cheng Ho dengan armadanya datang mengunjungi Kerajaan Samudera. Diceritakan, Sekandar, kemanakan suami kedua Ratu, bersama pengikutnya, merampok Cheng Ho. Serdadu–serdadu China dan Ratu Kerajaan Samudera dapat mengalahkan Sekandar. Ia ditanggap lalu dibawa ke Tiongkok untuk dijatuhi hukuman mati. Ratu yang dimaksud dalam berita China itu tidak lain adalah Ratu Nahrasiyah. 
Menyebut Kerajaan Samudera Pasai, tertera dua nama rajanya yang cukup terkenal. Yakni, Raja Malikussaleh dan Malikudzahir. Hampir-hampir nama Ratu Nahrasiyah tidak dikenal dalam sejarah. Padahal selama 20 tahun lebih ia berkuasa dan dikenal sebagai ratu yang arif bijaksana. Makamnya pun begitu megah, konon pada masanya merupakan makan terindah di Asia Tenggara
Di Lhokseumawe, Aceh Utara, tepatnya di Gampong (desa) Kuta Krueng Kecamatan Samudera Kabupaten Aceh Utara 18 Km arah timur kota Lhokseumawe, terdapat kompleks makam kerajaan Samudera Pasai (1267-1521). Kuta Krueng sendiri, sekitar satu kilometer dari kompleks makam, dahulu kala merupakan pusat Kerajaan Samudera Pasai.
Di dalam kompleks terdapat 38 batu pusara, dengan makam utama Sultan Malikussaleh dan Sultan Malikudzahir. Lain-lainnya adalah makam keluarga dan para pengawal kerajaan. Di bagian lain, tak jauh dari makam Malikussaleh, tepatnya mendekati bibir pantai Lhokseumawe, terdapat makam lainnya yang juga mencolok mata. Makam terlihat megah. Terbuat dari batu pualam dengan ukiran-ukiran kaligrafi yang indah. Kaligrafi (tulisan indah dalam bahasa Arab) itu berupa Surat Yasin yang cantik terpahat pada nisannya. Di samping itu tercantum pula ayat kursi, Surat Ali Imron ayat 18 dan 19, Surat Al Baqoroh ayat 285, 286 dan terpahat sebuah penjelasan dalam aksara Arab. Arti aksara itu disebutkan Prof Dr Ibrahim Alfian MA dalam tulisannya di buku Wanita Utama Nusantara dalam Lintasan Sejarah diterjemahkan :
“Inilah kubur wanita yang bercahaya yang suci, Ratu yang terhormat almarhumah yang diampunkan dosanya Nahrasiyah… putri Sultan Zain al-Abidin putera Sultan Al Malikul Salih. Kepada mereka itu dicurahkan rahmat dan diampunkan dosanya, meninggal dunia dengan rahmat Alloh pada hari Senin, 17 Dzulhijah 832 Hijriah.”
Ya, makam itu adalah makam Ratu Nahrasiyah yang memerintah tahun 1405-1428 M. Sang Ratu adalah anak dari Zainal Abidin Malikudzahir atau cucu dari Sultan Malikussaleh. Ia mangkat pada hari Senin, 17 Dzulhijjah 831 Hijriah atau 27 September 1428 M. Makamnya terbuat dari batu pualam yang pada waktu itu terindah pahatannya di Pulau Sumatera. Bahkan disebutkan Prof Dr T Ibrahim Alfian, MA, Prof Dr Christian Snouck Hougronje dari Belanda yang meneliti kuburan sang ratu, telah menuliskan di bukunya , “Arabie en Oost Indie” 1907, bahwa makan Ratu Nahrasiyah terindah di Asia Tenggara.
Dalam buku itu Snouck juga menuliskan, makam tersebut meruakan duplikat dari makam Umar Ibn Akhmad al-Kazaruni di Cambay, Gujarat, India yang mangkat pada 734 H atau 1333 M. Bentuk nisan seperti itu satu abad lebih setelah wafatnya Ratu Nahrasiyah juga dipakai  pada pembangunan makam Maulana Malik Ibrahim di Gresik, Jawa Timur.
Mengenai makam tersebut, warga sekitar melihat beberapa kelebihannya. Terutama ketika terjadi tsunami melanda Aceh. Gelombang tsunami memorak-porandakan pagar kompleks pemakaman. Namun makam sang ratu tidak rusak sama sekali. Gelombang air menerjang diatasnya, hanya menyisakan lumpur dan pasir di bawahnya.
Siapakah sejatinya ratu dari Kesultanan Samudera Pasai ini ?
Mengangkat Harkat Perempuan
Nahrasiyah adalah seorang ratu dari Kerajaan Samudera Pasai yang memegang pucuk pimpinan tahun 1405-1428 M. Ratu Nahrasiyah merupakan anak dari Sultan Zainal Abidin Malikudzahir yang mangkat pada tahun 1405. Ada juga versi yang menyebutkan kalau Nahrasiyah adalah janda sang raja yang mangkat, Zainal Abidin, lalu ia dinobatkan sebagai penggantinya.
Sekilas tentang kesultanan Samudera Pasai, berdasarkan Hikayat Raja-raja Pasai, diceritakan didirikan oleh Marah Silu, yang kemudian bergelar Sultan Malikussaleh. Ia wafat pada tahun 699 H atau 1297 M. Setelah beberapa kali pergantian Sultan, antara tahun 1345-1350 kesultanan diserang Majapahit, Sultan Pasai melarikan diri dari ibu kota kerajaan. Sejak itu Kesultanan Pasai mati suri.
Kesultanan kembali bangkit di bawah pimpinan Sultan Zainal Abiddin Malikudzahir tahun 1383 M. Ia memerintah sampai tahun 1405. Dalam kronik China “Ying-yai sheng-lan,” Sultan Zainal Abidin dikenal dengan nama Tsai-nu-li-a-pi-ting-ki, dan disebutkan ia tewas oleh raja Nakur. Selanjutnya pemerintahan Kesultanan pasai dilanjutkan oleh putrinya –versi lain menyebutkan istrinya –Sultanah Nahrasiyah.
Prof Dr T Ibrahim Alfian MA menuliskan, Ratu Nahrasiyah dikenal arif dan bijak, memerintah dengan sifak keibuan dan penuh kasih sayang. Harkat dan martabat perempuan begitu mulia sehinga banyak yang menjadi penyiar agama pada masa pemerintahannya. Nahrasiyah mangkat pada tanggal 17 Dzulhijjah 831 H atau 1428 M.
Ibrahim Alfian menjelaskan, selain jejak sejarah berupa nisan, keterangan tentang Ratu Nahrasiyah juga terdapat dalam sejarah Cina di atas. Buku itu sebenarnya berisi laporan umum mengenai pantai-pantai Sumatera waktu itu. Namun juga menyebut tentang raja yang berkuasa pada saat itu. Ma Huan seorang pelawat Cina Muslim dalam pengantar buku itu menjelaskan, karena dapat menerjemah buku-buku asing, ia dikirim oleh maharaja Cina ke berbagai negeri mengiringi Laksamana Cheng Ho.
Pada tahun 1415 Cheng Ho dan armadanya mengunjungi Kerajaan Samudera. Dalam Kronik Dinasti Ming (1368-1643) buku 32 diceritakan, Sekandar (Iskandar) keponakan suami kedua Ratu, bersama dengan beberapa ribu pengikutnya menyerang dan merampok Cheng Ho. Serdadu-serdadu Cina dan rakyat Samudera dapat mengalahkan mereka, membunuh sebagian penyerang itu dan mengejar mereka sampai ke Lambri di ujung pulau Sumatera. Sekandar kemudian di tangkap dan dibawa sebagai tawanan ke istana maharaja Cina. Disana Sekandar dijatui hukuman mati. Menurut Ibrahim Alfian, ratu yang dimaksud dalam cerita Cina itu tidak lain adalah Ratu Nahrasiyah, putri Sultan Zainal Abidin atau yang disebut literature Cina sebagai Tsai-nu-li-a-pi-ting-ki.
Tak Tertera Dalam Koin Emas
 Sayangnya sangat sedikit bukti tentang kebesaran sang ratu. Bahkan namanya tak ditemukan tertera di mata uang emas yang pada zaman Kerajaan Pasai menjadi kebiasaan untuk mengabadikan nama sang sultan di mata uang emas yang pada masa itu disebut dirham. Dirham atas nama Ratu Nahrasiyah yang memerintah lebih 20 tahun tidak ditemukan baik dalam berbagai koleksi maupun literature numismatic mata uang emas kerajaan-kerajaan Islam di Aceh.
Mengenai hal itu, Ibrahim Alfian mengatakan, mungkin karena Ratu Narasiyah setelah suaminya syahid, lalu menikah dengan suami yang kedua bernama Salahuddin, sama-sama memimpin Kerajaan Samudera Pasai. Sehingga nama suaminya yang bergelar Sulthan al Adillah yang diterakan di mata uang emas di bagian sisi belakang. Karena pada masa Ratu Nahrasiyah, dikeluarkan dirham dengan sisi depan bertulis Arab nama ayahnya, “Zainal Abidin Malikudzahir” dan dibagian belakang tertulis, “As Sulthan al Adil”.
Salahuddin sendiri tidak memakai gelar Malikudzahir karena ia bukan keturunan dinasti Malikudzahir. Karenannya gelarnya diterakan pada sisi belakang dirham, bukan di bagian depan sebagaimana lazimnya dirham emas raja-raja Pasai. Dirham Salahuddin dengan kualitas emas 17 karat. Sedangkan dirham Sultan Zainal Abidin kualitas emas 18 karat.
Mengapa koin emas atas nama sang ratu tidak ada, menjadi pertanyaan hingga saat ini. Mengingat makamnya yang megah dan indah, tentulah ia seorang pemimpin yang agung. Tentulah banyak keberhasilan yang telah ditorehnya. Sayang, catatan tentang sang ratu sangat minim. Yang paling mungkin adalah, karena Sultanah menikah lagi, sehingga tampuk kekuasaan  banyak dipimpin suaminya, Salahuddin.
Sang Sultanah telah membuat kaum perempuan saat itu ikut maju. Bisa belajar agama dan menjadi penyiar-penyiar agama sebagaimana ditulis Ibrahim Alfian.
http://koetaradja.files.wordpress.com/2011/04/tzeheytc.jpg

0 comments:

Post a Comment