Dr. C. Snouck Hurgronje terkagum-kagum menyaksikan sebuah makam yang demikian
indah di situs purbakala Kerajaan Samudera Pasai di Aceh Utara. Makam
yang terbuat dari pualam itu, merupakan makam yang terindah di Asia
Tenggara. Makam yang dihiasai dengan ayat – ayat Quran tersebut, adalah
makam seorang raja perempuan bernama Nahrasiyah. Ratu tersebut tentu
seorang raja yang besar, terbukti dari hiasan makamnya yang sangat
istimewa. Ratu merupakan putri Sultan Zain al-Abidin. Sayang, sedikit
sekali sumber sejarah tentang dirinya – yang memerintah lebih dari 20
tahun. Kerajaan Samudera Pasai senantiasa mengeluarkan mata uang emas.
Namun, kepunyaan Ratu sampai saat ini belum ditemukan. Sementara itu,
dirham ayahnya ditemukan – dimana disisi depan mata uang tersebut
tercantum “Zainal Abidin Malik az-Zahir”.Nama
Sultan Zain al-Abidin dalam berita–berita Tiongkok dikenal dengan
Tsai-nu-li-a-ting-ki. Kronika Dinasti Ming (1368-1643) menyebutkan, Raja
ini mengirimkan utusan-utusannya yang ditemani oleh sida-sida China,
Yin Ching kepada mahararaja China, Ch’engtsu (1403-1424). Maharaja China
kemudian mengeluarkan dekrit pengangkatannya sebagai Raja Samudera dan
memberikan sebuah cap kerajaan dan pakaian kerajaan. Pada tahun 1415
Laksamana Cheng Ho dengan armadanya datang mengunjungi Kerajaan
Samudera. Diceritakan, Sekandar, kemanakan suami kedua Ratu, bersama
pengikutnya, merampok Cheng Ho. Serdadu–serdadu China dan Ratu Kerajaan
Samudera dapat mengalahkan Sekandar. Ia ditanggap lalu dibawa ke
Tiongkok untuk dijatuhi hukuman mati. Ratu yang dimaksud dalam berita
China itu tidak lain adalah Ratu Nahrasiyah.
Menyebut
Kerajaan Samudera Pasai, tertera dua nama rajanya yang cukup terkenal. Yakni,
Raja Malikussaleh dan Malikudzahir. Hampir-hampir nama Ratu Nahrasiyah tidak
dikenal dalam sejarah. Padahal selama 20 tahun lebih ia berkuasa dan dikenal
sebagai ratu yang arif bijaksana. Makamnya pun begitu megah, konon pada masanya
merupakan makan terindah di Asia Tenggara
Di Lhokseumawe,
Aceh Utara, tepatnya di Gampong (desa) Kuta Krueng Kecamatan Samudera Kabupaten
Aceh Utara 18 Km arah timur kota Lhokseumawe, terdapat kompleks makam kerajaan
Samudera Pasai (1267-1521). Kuta Krueng sendiri, sekitar satu kilometer dari
kompleks makam, dahulu kala merupakan pusat Kerajaan Samudera Pasai.
Di dalam
kompleks terdapat 38 batu pusara, dengan makam utama Sultan Malikussaleh dan
Sultan Malikudzahir. Lain-lainnya adalah makam keluarga dan para pengawal
kerajaan. Di bagian lain, tak jauh dari makam Malikussaleh, tepatnya mendekati
bibir pantai Lhokseumawe, terdapat makam lainnya yang juga mencolok mata. Makam
terlihat megah. Terbuat dari batu pualam dengan ukiran-ukiran kaligrafi yang
indah. Kaligrafi (tulisan indah dalam bahasa Arab) itu berupa Surat Yasin yang
cantik terpahat pada nisannya. Di samping itu tercantum pula ayat kursi, Surat
Ali Imron ayat 18 dan 19, Surat Al Baqoroh ayat 285, 286 dan terpahat sebuah
penjelasan dalam aksara Arab. Arti aksara itu disebutkan Prof Dr Ibrahim Alfian
MA dalam tulisannya di buku Wanita Utama Nusantara dalam Lintasan Sejarah
diterjemahkan :
“Inilah kubur
wanita yang bercahaya yang suci, Ratu yang terhormat almarhumah yang diampunkan
dosanya Nahrasiyah… putri Sultan Zain al-Abidin putera Sultan Al Malikul Salih.
Kepada mereka itu dicurahkan rahmat dan diampunkan dosanya, meninggal dunia
dengan rahmat Alloh pada hari Senin, 17 Dzulhijah 832 Hijriah.”
Ya, makam itu
adalah makam Ratu Nahrasiyah yang memerintah tahun 1405-1428 M. Sang Ratu
adalah anak dari Zainal Abidin Malikudzahir atau cucu dari Sultan Malikussaleh.
Ia mangkat pada hari Senin, 17 Dzulhijjah 831 Hijriah atau 27 September 1428 M.
Makamnya terbuat dari batu pualam yang pada waktu itu terindah pahatannya di
Pulau Sumatera. Bahkan disebutkan Prof Dr T Ibrahim Alfian, MA, Prof Dr
Christian Snouck Hougronje dari Belanda yang meneliti kuburan sang ratu, telah
menuliskan di bukunya , “Arabie en Oost Indie” 1907, bahwa makan Ratu
Nahrasiyah terindah di Asia Tenggara.
Dalam buku itu
Snouck juga menuliskan, makam tersebut meruakan duplikat dari makam Umar Ibn
Akhmad al-Kazaruni di Cambay, Gujarat, India yang mangkat pada 734 H atau 1333
M. Bentuk nisan seperti itu satu abad lebih setelah wafatnya Ratu Nahrasiyah
juga dipakai pada pembangunan makam
Maulana Malik Ibrahim di Gresik, Jawa Timur.
Mengenai makam
tersebut, warga sekitar melihat beberapa kelebihannya. Terutama ketika terjadi
tsunami melanda Aceh. Gelombang tsunami memorak-porandakan pagar kompleks
pemakaman. Namun makam sang ratu tidak rusak sama sekali. Gelombang air
menerjang diatasnya, hanya menyisakan lumpur dan pasir di bawahnya.
Siapakah
sejatinya ratu dari Kesultanan Samudera Pasai ini ?
Mengangkat Harkat Perempuan
Nahrasiyah
adalah seorang ratu dari Kerajaan Samudera Pasai yang memegang pucuk pimpinan tahun
1405-1428 M. Ratu Nahrasiyah merupakan anak dari Sultan Zainal Abidin Malikudzahir
yang mangkat pada tahun 1405. Ada juga versi yang menyebutkan kalau Nahrasiyah
adalah janda sang raja yang mangkat, Zainal Abidin, lalu ia dinobatkan sebagai
penggantinya.
Sekilas tentang
kesultanan Samudera Pasai, berdasarkan Hikayat Raja-raja Pasai, diceritakan
didirikan oleh Marah Silu, yang kemudian bergelar Sultan Malikussaleh. Ia wafat
pada tahun 699 H atau 1297 M. Setelah beberapa kali pergantian Sultan, antara tahun
1345-1350 kesultanan diserang Majapahit, Sultan Pasai melarikan diri dari ibu
kota kerajaan. Sejak itu Kesultanan Pasai mati suri.
Kesultanan
kembali bangkit di bawah pimpinan Sultan Zainal Abiddin Malikudzahir tahun 1383
M. Ia memerintah sampai tahun 1405. Dalam kronik China “Ying-yai sheng-lan,”
Sultan Zainal Abidin dikenal dengan nama Tsai-nu-li-a-pi-ting-ki, dan
disebutkan ia tewas oleh raja Nakur. Selanjutnya pemerintahan Kesultanan pasai
dilanjutkan oleh putrinya –versi lain menyebutkan istrinya –Sultanah
Nahrasiyah.
Prof Dr T
Ibrahim Alfian MA menuliskan, Ratu Nahrasiyah dikenal arif dan bijak,
memerintah dengan sifak keibuan dan penuh kasih sayang. Harkat dan martabat
perempuan begitu mulia sehinga banyak yang menjadi penyiar agama pada masa
pemerintahannya. Nahrasiyah mangkat pada tanggal 17 Dzulhijjah 831 H atau 1428 M.
Ibrahim Alfian
menjelaskan, selain jejak sejarah berupa nisan, keterangan tentang Ratu
Nahrasiyah juga terdapat dalam sejarah Cina di atas. Buku itu sebenarnya berisi
laporan umum mengenai pantai-pantai Sumatera waktu itu. Namun juga menyebut
tentang raja yang berkuasa pada saat itu. Ma Huan seorang pelawat Cina Muslim
dalam pengantar buku itu menjelaskan, karena dapat menerjemah buku-buku asing,
ia dikirim oleh maharaja Cina ke berbagai negeri mengiringi Laksamana Cheng Ho.
Pada tahun 1415
Cheng Ho dan armadanya mengunjungi Kerajaan Samudera. Dalam Kronik Dinasti Ming
(1368-1643) buku 32 diceritakan, Sekandar (Iskandar) keponakan suami kedua
Ratu, bersama dengan beberapa ribu pengikutnya menyerang dan merampok Cheng Ho.
Serdadu-serdadu Cina dan rakyat Samudera dapat mengalahkan mereka, membunuh
sebagian penyerang itu dan mengejar mereka sampai ke Lambri di ujung pulau
Sumatera. Sekandar kemudian di tangkap dan dibawa sebagai tawanan ke istana
maharaja Cina. Disana Sekandar dijatui hukuman mati. Menurut Ibrahim Alfian,
ratu yang dimaksud dalam cerita Cina itu tidak lain adalah Ratu Nahrasiyah,
putri Sultan Zainal Abidin atau yang disebut literature Cina sebagai
Tsai-nu-li-a-pi-ting-ki.
Tak Tertera Dalam Koin Emas
Sayangnya sangat
sedikit bukti tentang kebesaran sang ratu. Bahkan namanya tak ditemukan tertera
di mata uang emas yang pada zaman Kerajaan Pasai menjadi kebiasaan untuk
mengabadikan nama sang sultan di mata uang emas yang pada masa itu disebut
dirham. Dirham atas nama Ratu Nahrasiyah yang memerintah lebih 20 tahun tidak
ditemukan baik dalam berbagai koleksi maupun literature numismatic mata uang
emas kerajaan-kerajaan Islam di Aceh.
Mengenai hal
itu, Ibrahim Alfian mengatakan, mungkin karena Ratu Narasiyah setelah suaminya
syahid, lalu menikah dengan suami yang kedua bernama Salahuddin, sama-sama
memimpin Kerajaan Samudera Pasai. Sehingga nama suaminya yang bergelar Sulthan
al Adillah yang diterakan di mata uang emas di bagian sisi belakang. Karena
pada masa Ratu Nahrasiyah, dikeluarkan dirham dengan sisi depan bertulis Arab
nama ayahnya, “Zainal Abidin Malikudzahir” dan dibagian belakang tertulis, “As
Sulthan al Adil”.
Salahuddin
sendiri tidak memakai gelar Malikudzahir karena ia bukan keturunan dinasti Malikudzahir.
Karenannya gelarnya diterakan pada sisi belakang dirham, bukan di bagian depan
sebagaimana lazimnya dirham emas raja-raja Pasai. Dirham Salahuddin dengan
kualitas emas 17 karat. Sedangkan dirham Sultan Zainal Abidin kualitas emas 18
karat.
Mengapa koin
emas atas nama sang ratu tidak ada, menjadi pertanyaan hingga saat ini.
Mengingat makamnya yang megah dan indah, tentulah ia seorang pemimpin yang
agung. Tentulah banyak keberhasilan yang telah ditorehnya. Sayang, catatan
tentang sang ratu sangat minim. Yang paling mungkin adalah, karena Sultanah
menikah lagi, sehingga tampuk kekuasaan
banyak dipimpin suaminya, Salahuddin.
Sang Sultanah
telah membuat kaum perempuan saat itu ikut maju. Bisa belajar agama dan menjadi
penyiar-penyiar agama sebagaimana ditulis Ibrahim Alfian.
0 comments:
Post a Comment