Silsilah
ratu ini tidak banyak diketahui. Ada dua versi tentang asal usulnya.
Perkiraan pertama ia anak angkat Ratu Sultanah Safiatuddin Syah dan lain
pihak mengatakan ia adik Ratu Zakiatuddin Syah. Yang jelas, Ratu
Zakiatuddin Syah berasal dari keluarga-keluarga Sultan Aceh juga.Pada
masa Kamalat Syah bertahta, para pembesar kerajaan terpecah dalam dua
pendirian. Golongan orang kaya bersatu dengan golongan agama
menginginkan kaum pria kembali menjadi Sultan. Kelompok yang tetap
menginginkan wanita menjadi raja adalah Panglima Sagi. Perbedaan
pendapat itu sebetulnya bukan sesuatu yang baru dan pernah menimbulkan
kontak senjata. Namun, kemudian kedudukan Kamalat Syah tidak dapat lagi
dipertahankan setelah para ulama meminta pendapat dari Qadhi Malikul
Adil dari Mekkah. Dalam surat balasannya, Malikul Adil menyatakan bahwa
kedudukan wanita sebagai raja bertentangan dengan syariat Islam. Ia
turun tahta pada bulan Oktober 1699. Pada masa pemerintahannya, ia
mendapatkan kunjugan dari Persatuan Dagang Perancis dan serikat dagang
Inggris East Indian Company. Ia sempat pula mengeluarkan mata uang emas
Setelah mangkatnya Sultanah Nurul Alam Zakiatuddin
pada tahun 1688, terjadi perselisihan pendapat antara lembaga panglima tiga
sagi dan Majelis Orang Kaya tentang keabsahan wanita menjadi sultanah. Isu ini
sebenarnya telah diselesaikan dengan fatwa Syeikh Abdur Rauf Singkel pada zaman
Sultanah Tajul Alam Safiatuddin tetapi dimunculkan kembali oleh pihak yang
tidak setuju dengan diangkatnya Zainatuddin menjadi Sultanah.
Majelis Orang Kaya tidak setuju dengan rencana
diangkatnya Zainatuddin sebagai Sultanah. Walaupun demikian, pada akhirnya ia
tetap dilantik menjadi sultanah karena kekuasaan untuk mengangkat seseorang
menjadi sultanah ada di tangan Lembaga Panglima Tiga Sagi dan kebetulan lembaga
ini mendukungnya karena Zainatuddin masih adik Sultanah Zakiatuddin dan
diangkat ia dianugerahi gelar Sultanah Zainatuddin Kamalat Syah.
Alasan Majelis Orang Kaya tidak setuju dengan
diangkatnya Zainatuddin adalah: pertama karena menurut mereka Islam melarang
perempuan menjadi pemimpin. Di antara hadits yang menjadi pegangan mereka
adalah :
Khasira qaumun allazina wallau umuurahum imraatan (al-hadits).
Artinya
Rugilah suatu kaum yang menyerahkan urusan publiknya kepada perempuan.
Rugilah suatu kaum yang menyerahkan urusan publiknya kepada perempuan.
Seperti dijelaskan dalam hadits dan kedua berdasarkan
fakta setelah dipimpin oleh tiga orang sultanah berturut-turut Aceh ternyata
tidak bertambah jaya namun sebaliknya semakin mundur terbukti dengan banyaknya
daerah bawahan yang melepaskan diri.
Di sisi lain, argumetasi Majelis Orang Kaya
dipatahkan oleh Lembaga Panglima Tiga Sagi dan tetap mempertahankan Zainatuddin
karena berdasarkan fakta bahwa di kalangan kerajaan Islam sebelumnya telah ada
perempuan yang memerintah kerajaan dan tidak ada masalah dengan kerajaan yang
mereka pimpin.
Para perempuan yang pernah menjadi sultanah itu
adalah Sultanah Syajaratul al-Daur yang memimpin kerajaan Mameluk di Mesir dan
Sultanah Raziah di Delhi India dan bahkan pada zaman keemasan Pasai terdapat
seorang ratu perempuan yang bernama Sultanah Nahrasiyah.
Majelis Orang Kaya tetap mencari celah agar
Zainatuddin turun dan tahta kesultanan. Di antara upaya yang mereka lakukan
untuk menurunkan dan tahta kesultanan itu adalah dengan minta fatwa ke Mekkah
tentang boleh tidaknya seorang wanita menjadi sultanah. Setelah ditunggu
beberapa lama, tibalah fatwa yang dinantikan.
Mufti Mekkah ternyata mengeluarkan fatwa haram bagi
wanita menjadi pemimpin. Fatwa ini memicu perdebatan antara ulama yang pro dan
kontra dan akhirnya berimbas pada ruang politik dengan turunnya Zainatuddin dan
tahta kesultanan.
Walaupun menurut peraturan yang ada, kekuasaan untuk
mengangkat dan menurunkan sultan di tangan lembaga panglima tiga sagi, di era
ini lembaga panglima tiga sagi tidak sekuat pada masa Sultanah Tajul Alam
Safiatuddin karena pengaruh Panglima Polem dan 22 mukim tidak sebesar pengaruh
kakeknya yang merupakan keturunan langsung dan Iskandar Muda walaupun bukan dan
isteri pertama.
Faktor lain adalah adanya desakan Majelis Orang Kaya
yang semakin keras setelah dikeluarkannya fatwa haram dan Mufti Mekkah
disamping fakta semakin lemahnya Aceh sejak lima puluh tahun diperintah oleh
tiga pemimpin perempuan. Hal ini semakin memperkuat kedudukan pihak oposisi
yang ingin menggulingkan Zainatuddin.
Kedudukan teritorial Aceh yang semakin lemah juga
menjadi faktor mengapa Sultanah Zainatuddin harus lengser dan tahtanya. Banyak
daerah di Sumatera yang melepaskan diri dari Aceh sejak Belanda menekan Aceh
pada tahun 1667 di antaranya Sumatera Timur dan Barat.
Demikian juga memperlemah ekonomi dan perdagangan
Aceh karena sejak Sumatera Timur dan Sumatera Barat lepas, mereka mengalihkan
perdagangan komoditas penting seperti emas, lada dan timah melalui sungai Siak,
Rokan, Kampar, dan Inderagiri ke pelabuhan di kawasan timur Sumatera dan
selanjutnya di angkut melintasi Selat Malaka ke Sungai Ujong. Naning, dan
Rembau di Semenanjung Melayu.
Sama dengan para pendahulunya. Sultan Kamalat Syah
juga menerbitkan uang emas dengan tulisan Paduka Seri Sultanah Zainatuddin dan
dibaliknya Kamalat Syah Berdaulat.
Apa yang dilakukan daerah Sumatera Timur dan Sumatera
Barat juga dilakukan daerah Perak dan Kedah. Pengaruh Aceh di kedua daerah ini
menjadi lemah dan lama-lama dikuasai orang-orang Bugis yang bersaing dengan
Belanda.
Memburuknya keadaan ekonomi dan politik yang membuat
rakyat Aceh tidak puas dengan Kamalat Syah plus fatwa mufti Mekkah yang
mengharamkan pemimpin kerajaan perempuan mengharuskan Kamalat Syah turun tahta
pada bulan Oktober 1699.
Setelah turun tahta, Kamalat Syah diganti oleh
suaminya yang bernama Sayid Hasyim Jamalulail dan Hadramaut yang juga keturunan
Rasulullah SAW Hadramaut. Setelah diangkat menjadi Sultan Aceh, Sayid Hasyim
Jalamulail diberi gelar Sultan Badrul Alam Syarif Hasyim Jamalulail.
Karena ketika diangkat sudah uzur, Ia memerintah Aceh
dalam waktu yang relatif singkat dan turun tahta pada tahun 1702 dan mangkat
dua minggu setelah turun tahta pada tahun yang sama.
Ratu Kamalat Zainatuddin Syah merupakan Ratu Terakhir Aceh
Ratu
Kamalat Zainatuddin Syah merupakan ratu kerajaan Aceh yang keempat. Ia
memerintah selama sebelas tahun yakni dari tahun 1688 sampai 1699 masehi. Ia
berasal dari keluarga Sulthan Aceh, tapi tidak jelas dari sulthan yang mana.
Dua sejarawan Aceh, Rusdi Sufi dan M Gade Ismail
dalam tulisannya di buku Wanita Utama Nusantara dalam Lintasan Sejarah,
mengungkapkan, silsilah keturunan Ratu Kamalar Zainatuddin dari beberapa sumber
menyebutnya berbeda-beda. Di satu pihak ada yang mengatakan ia adalah anak
angkat dari Ratu Rafiatuddin Syah, perempuan pertama yang memimpin kerajaan
Aceh, tapi ada juga yang menyebutkan dia adalah adik dari ratu Zakiatuddin
Syah, sultanah ketiga Kerajaan Aceh yang memerintah sebelumnya.
Hoesein Djajaninggrat dalam buku “Critisch Overzicht
van de in Maleische Werken Vervae Gegevens Over de Geschiedenis van Het
Soeltanaat van Atjeh” mengungkapkan, pada saat Ratu Kamalat zainatuddin Syah
akan naik tahta, para pembesar kerajaan Aceh terpecah dalam dua kelompok dengan
pendirian yang berbeda.
Kelompok bangsawan tidak menyetujui pengangkatannya,
karena mereka menginginkan Aceh kembali dipimpin oleh sulthan bukan sultanah.
Mereka menginginkan kekuasaan kerajaan Aceh kembali dipegang oleh kaum pria.
Kelompok lainnya tidak keberatan dengan kepemimpinan perempuan, karena
sebelumnya sudah tiga ratu yang memimpin Kerajaan Aceh, dan itu tidak ada
masalah.
Pertentangan seperti itu bukanlah hal baru di
Kerajaan Aceh, tapi sudah muncul sejak pengangkatan pertama wanita sebagai ratu
yakni Ratu Safiatuddin Syah yang menggantikan Sulthan Iskandar Tsani pada tahun
1641 masehi, 47 tahun sebelum Ratu Kemalat Zainatuddin Syah diangkat menjadi
ratu. Hanya saja, penentangan terhadap kepemimpinan perempuan di Kerajaan Aceh
itu mencapai puncaknya pada masa pengangkatan Ratu Kemalat Zainatuddin Syah.
Penyebab memuncaknya penentangan itu adalah karena
semakin menguatnya pengaruh kelompok bangsawan (uleebalang) dalam penguasaan di
kabinet kerajaan. Hal itu ditambah lagi dengan dukungan beberapa ulama yang
menentang kepemimpinan perempuan di Aceh.
Rusdi Sufi dan M Gade Ismail dalam tulisannya tentang
Ratu Kemalat Zainatuddin Syah menyebutkan, saat itu ada 12 orang bangsawan
terpengaruh di kerajaan yang bersama beberapa ulama menentang pengangkatan Ratu
Kemalat Zainatuddin Syah sebagai penguasa Kerajaan Aceh.
Hanya golongan para Panglima Tiga Sagi (Aceh Lhee
Sagoe) yang menyetujui pengankatan ratu tersebut. Sesuai dengan konstitusi kerajaan
Aceh, mereka berhak mengagnkat dan menurunkan sultan/sultanah dari tampuk
pimpinan kerajaan. Mereka langsung mengangkat Ratu Kemalat Zainatuddin Syah
sebagai penguasa kerajaan Aceh setelah meninggalnya Ratu Zakiatuddin Syah.
Pemberian hak kepada panglima Aceh Lhee Sagoe itu
tertuang dalam undang-undang Kerajaan Aceh, Adat Meukuta Alam, yang merupakan
undang-undang dibuat pada masa pemerintahan Sulthan Iskandar Muda dan
disempurnakan pada masa pemerintahan Ratu Naqiatuddin Syah (1675-1678).
Penyempurnaan Adat Meukuta Alam melalui amandemen
yang dilakukan ratu Naqiatuddin Syah merupakan konsepsi yang diajukan oleh
Mufti Kerajaan Aceh pada masa yakni ulama besar Syaikh Abdur Rauf. Ia
memberikan masukan kepada Ratu Nagiatuddin untuk mengadakan perubahan dalam
sistem pemerintahan di Kerajaan Aceh. Perubahan itu kemudian dibuat dalam
bentuk undang-undang dasar Kerajaan Aceh yang dikenal dengan Adat Meukuta Alam.
Tentang itu juga diungkapkan T Ibrahim Alfian dalam
bukunya “Mata Uang Emas Kerajaan-kerajaan di Aceh,” Dengan undang-undang Adat
Meukuta Alam tersebut Kerajaan Aceh dibagi menjadi tiga federasi yang kemudian
dikenal dengan sebutan Aceh Lhei Sagoe (Aceh tiga sagi). Setiap sagi terdiri
atas beberapa mukim. Berdasarkan jumlah mukim yang disatukan, ketiga sagi itu
dinamakan; Sagi XXII Mukim, Sagi XXV Mukim, dan Sagi XXVI Mukim. Setiap sagi
diangkat seorang pemimpin yang disebut Panglima Sagoe.
Sejarawan Belanda, K. F. H Van Langen dalam “De
Inricting Van Het Atjeshe Staatsbestuur Onder Het Sultanaat” (1888)
mengungkapkan, pembentukan sagi oleh Ratu Naqiatuddin merupakan upaya membentuk
pemerintahan yang dapat tersentralisasi dengan menyerahkan urusan pemerintahan
dalam kenegrian-kenegrian yang terletak sebelah barat, timur dan selatan
Kerajaan Aceh kepada ketiga orang Panglima Sagoe.Namun kata Van Langen, penyerahan kekuasan kepada
para Panglima Sagoe itu bukan berarti mereka akan menjalankan pemerintahan
sendiri-sendiri. Tapi sebaliknya, mereka tetap di bawah kontrol dan pengawasan
kerajaan. Panglima Sagoe lebih berfungsi sebagai perpanjangan tangan raja yang
mengefektifkan pengawasan, yakni dengan cara memonitor sejauh mana tingkat
kadar pelaksanaan pemerintahan dari pemerintah pusat di kerajaan yang
disampaikan oleh pemimpin-pemimpin negeri (Uleebalang) benar-benar
dilaksanakan. Van Langen menilai apa yang dilakukan Ratu Naqiatuddin Syah
merupakan suatu kemajuan besar dalam tata kelola pemerintahan di Kerajaan Aceh.Hal yang sama juga diungkapkan Thomas Braddel dalam
buku “On the History of Acheen) terbitan 1851. Ia menilai beberapa kemajuan
yang dilakukan oleh Ratu Naqiatuddin Syah pada masa kepemimpinannya, di
antaranya: sehubungan dengan nasihat Syaikh Abdur Rauf, Ratu Naqiatuddin
menyempurnakan Adat Meukuta Alam ciptaan Sulthan Iskandar Muda, penyempurnaan
dilakukan sesuai dengan kondisi zaman pemerintahannya.
Dengan keberadaan undang-undang itulah panglima Aceh
Lhee Sagoe bisa melantik dan mengangkat Ratu Kemalat Zainatuddin Syah sebagai
pemegang tampuk pimpinan kerajaan Aceh, meski ditentang oleh kaum bangsawan dan
beberapa ulama dan hampir terjadi pertumpahan darah.
Meski demikian, pertentangan terus berlanjut. Dan
pada periode selanjutnya kelompok ulama dan uleebalang berhasil mempengaruhi
kalangan istana dengan tidak lagi meneruskan kepemimpinan perempuan di kerajaan
Aceh. Ratu Kemalat Zainatuddin Syah merupakan sultanah terakhir di Kerajaan
Aceh, setelah masanya, kerajaan Aceh kembali dipimpin oleh pria (sulthan).Salah satu faktor yang menyebabkan keberhasilan
golongan bangsawan dan ulama dalam menghentikan dinasti para ratu di Kerajaan
Aceh adalah dari taktik dan solusi yang mereka tawarkan untuk menyelesaikan
pertentangan dua golongan tersebut, yakni yang pro dan kontra dengan
kepemimpinan ratu.P. J. Veth dalam buku “Atchin en Zijne Betrekkingen
tot Nederland” terbitan Leiden, 1873 mengungkapkan, saat itu golongan ulama
mengusulkan agar persoalan tentang kepemimpinan perempuan ditanyakan kepada
raja dan ulama di Mekkah. Dalam buku itu Vet menulis :
“Akan tetapi golongan ulama tidaklah tinggal diam
mereka memperkuat posisinya dengan sepucuk surat dari Qadhi Malikul Adil di
Mekkah yang memuat pemberitahuan kepada kepala-kepala dan rakyat Aceh bahwa
penempatan seorang wanita pada kekuasaan tertinggi bertentangan dengan Syariat
Islam. Strategi ini berhasil. Orang-orang kaya (uleebalang) tidak berani lebih
lama lagi menentang keberanian rakyat. Kemalat Syah diturunkan dari tahta dan
pemerintahan diserahkan kepada Badrullah Syarif Hasyim Jamaluddin. Sesudahnya,
kendali pemerintahan Aceh tidak pernah lagi berada dalam tangan seorang
wanita.”
Menerima Utusan Perancis
Seperti sultanah-sultanah sebelumnya, Ratu Kemalat
Zainatuddin Syah memiliki peranan tersendiri dalam memerintah Kerajaan Aceh.
Pada masa pemerintahannya, yakni pada tahun 1695, Kerajaan Aceh mendapat
kunjungan dari utusan persatuan dagang Perancis. Para pedagang Perancis itu
oleh Ratu Kemalat Zainatuddin Syah diizinkan mendirikan sebuah kantor dagangnya
di Aceh.
Hal yang sama juga dilakukan Ratu Kemalat Zainatuddin
Syah terhadap kongsi dagang dari Inggris, East Indian Comapany (EIC). Pendirian
kantor dagang luar negeri tersebut diizinkan selama menguntungkan kedua belah
pihak. Hal ini mendatangkan keuntungan keuangan bagi kerajaan Aceh dari ekspor
rempah-rempah dari Aceh ke luar negeri oleh maskapai perdagangan Perancis dan
Inggris tersebut. P J Veth mengungkapkan, hal lain yang menarik dari Ratu
Kemalat Zainatuddin Syah adalah pada mata uang emas (derham) yang
dikeluarkannya, seperti yang dilakukan oleh para sultanah sebelumnya.
Hal yang sama juga diungkapkan T Ibrahim Alfian dalam
buku “Mata Uang Emas Kerajaan-kerajaan di Aceh.” Menurutnya, pada mata uang
emas yang dikeluarkannya itu terukir nama sang ratu, yakni “Paduka Seri
Sultanah Kamalat Syah” di sisi muka. Dan “Zaniat ad-Din Syah Berdaulat” di sisi
belakangnya. Mata uang emas yang dikeluarkan Ratu Kemalat Zainatuddin Syah
bernilai 14,5 karat dengan bobot 0,50 gram dan berdiameter 13 milimeter.
Ratu
Kemalat Zainatuddin Syah diturunkan dari jabatannya pada bulan Oktober 1699,
dan setahun kemudian (1700) mangkat. Sebagai penggantinya kemudian diangkat
seorang pria keturunan Arab sebagai raja Aceh yakni Sulthan Badrul Alam Syarif
Hasyim Jamal ad-Din.
0 comments:
Post a Comment