POCUT MEURAH INTAN (1833-1937)
Pocut
Meurah Intan seorang puteri bangsawan dari kalangan Kesultanan Aceh.
Ayahnya Keujruen Biheue berasal dari keturunan Pocut Bantan. Pocut
Meurah menikah dengan Tuanku Abdul Majid, salah seorang anggota keluarga
Sultan Aceh. Ia seorang pejabat bea cukai pelabuhan yang gigih
menantang kehadiran Belanda. Dari pernikahannya dengan Tuanku Abdul
Majid, Pocut Meurah mendapat tiga anak laki-laki. Belanda mencatat,
bahwa Pocut Meurah salah satu figur dari Kesultanan Aceh yang paling
anti Belanda. Dalam laporan kolonial (Koloniaal Verslag) tahun 1905,
sampai tahun 1904, satu-satunya tokoh dari kalangan Kesultanan Aceh yang
belum menyerah dan tetap bersikap anti terhadap Belanda adalah Pocut
Meurah Intan. Semangat anti Belanda yang teguh itulah yang diwariskannya
pada puteranya sehingga mereka bersama-sama dengan pejuang Aceh lainnya
menentang Belanda. Ia bercerai dengan suaminya karena Tuanku Abdul
Majid menyerahkan diri kepada Belanda. Lalu ia mengajak anak-anaknya
terus berperang. Dua diantara anaknya, Tuanku Muhammad Batee dan Tuanku
Nurdin, kemudian menjadi terkenal sebagai pemimpin pergerakan.
Intensitas
patroli Belanda yang semakin meningkat, membuat Pocut Meuran Intan
bersama kedua putranya tertangkap marsose. Namun, sebelum tertangkap, ia
masih sempat melakukan perlawanan yang amat mengagumkan pihak lawan.
Valtman, pemimpin pasukan Belanda yang berpengalaman di Aceh dan baik
hati, menyebutnya sebagai heldhaftig (gagah berani). “Kalau begitu,
biarlah aku mati,” ucap Pocut Meuran Intan. Lalu ia mencabut rencongya
menyerbu brigade tempur Belanda. Ia mengalami luka parah. Terbaring di
tanah digenangi darah dan lumpur. Veltman mengira ia tewas lalu
meninggalkannya. Kata Valtman, biar dia meninggal ditangan bangsanya
sendiri. Pocut Meuran Intan ternyata masih hidup. Ia diselamatkan.
Veltman kemudian mengirim dokter untuk merawat luka-lukanya. Namun,
Pocut Meuran menolak dokter Belanda itu. Ia sembuh, tetapi kondisi
tubuhnya tidak lagi sekuat sebelumnya. Kemudian, bersama putranya, Pocut
Meurah Tuanku Budiman dimasukkan ke penjara. Sementara putranya yang
lain, Tuanku Nurdin tetap melanjutkan perjuangan sampai kemudian ditahan
oleh Belanda. Pocut Meurah Intan yang pincang dengan kedua putranya 6
Mei 1905 kemudian diasingkan ke Blora, Jawa. Pada 19 Septembar 1937
Pocut Meurah Intan meninggal.
Selama ini kita mengenal pahlawan wanita Aceh hanya Cut Nyak Dien dan
Cut Meutia. Perjuangan mereka telah banyak diceritakan di buku sejarah
dan juga di media massa. Kedua wanita tersebut juga telah ditetapkan
sebagai pahlawan nasional. Padahal masih banyak wanita hebat Aceh
lainnya yang gigih berjuang hingga meninggal dalam perlawanannya. Cut
Nyak Dien dan Cut Meutia adalah hanya sebagian kecil dari pengobar
semangat perlawanan terhadap pemerintah Kolonial Belanda. Tentunya kita
harus mengenal pahlawan wanita lainnya yang akan menjadi pahlawan
nasional kita berikutnya.
Pocut Meurah Intan namanya. Lahir di Biheue pada tahun 1833. Biheue adalah sebuah uleebalang (kenegerian) yang merupakan Wilayah Sagi XXII Mukim di bawah kekuasaan Kesultanan Aceh. Kesultanan Aceh merupakan Kerajaan di wilayah Aceh yang berdiri pada tahun 1496 sampai dengan 1903. Dengan raja yang terkenal adalah Sultan Iskandar Muda. Wilayah Sagi XXII Mukim merupakan tempat Panglima Polim juga berjuang melawan pemerintah kolonial Belanda. Pada perkembangannya, Biheue masuk Wilayah XXII Mukim terdiri dari wilayah Pidie, Batee, Padang Tiji, Kale, dan Laweueng dikarenakan terjadi krisis politik pada akhir abad ke-19. Krisis politik tersebut diakibatkan terjadinya perampasan daerah oleh Teuku Raja Pakeh Pidie atas dukungan Teungku di Boloh. Daerah tersebut merupakan bagian dari Kabupaten Aceh Besar.
Pocut Meurah Intan adalah putri keturunan dari kalangan Kesultanan Aceh. Ayahnya merupakan seorang Kejruen (Kepala Negeri) Biheue. Pocut Meurah Intan memiliki suami bernama Tuanku Abdul Madjid bin Tuanku Abbas bin Sultan Alaidin Jauhar Syah Alam. Tuanku Abdul Madjid bekerja di bagian bea cukai di Pelabuhan Kuala Batee. Dari perkawinan dengan Tuanku Abdul Madjid, Pocut Meurah Intan memiliki 3 (tiga) orang putra bernama Tuanku Muhammad atau biasa dikenal Tuanku Muhammad Batee, Tuanku Budiman, Tuanku Nurdin. Kesemua anaknya berjuang dalam Perang Aceh. Perang Aceh adalah peperangan yang terjadi antara Kesultanan Aceh dengan Pemerintah Belanda yang dimulai pada tahun 1873 ditandai dengan datangnya Kapal Belanda di Pantai Kotaraja. Pocut Meurah Intan juga merupakan ibu tiri dari permaisuri Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah (Sultan terakhir Kesultanan Aceh).Pocut Meurah merupakan nama panggilan khusus bagi wanita keturunan keluarga Kesultanan Aceh. Pocut Meurah Intan juga dipanggil juga dengan Pocut Biheue karena beliau berasal dari Biheue. Dalam perjuangannya selalu didampingi seorang panglima perang bernama Mahmud atau Waki Mud.
Setelah meninggalnya Sultan Alauddin Mahmud Syah, dilantiklah Sultan Alaiuiddin Muhammad Daud Syah menjadi Sultan Kerajaan Aceh yang masih berusia 10 tahun. Hal ibukota kerajaan dipindahkan ke Kemala dan pada saat itu pula peperangan di wilayah Aceh semakin dahsyat dan sifat peperangan berubah menjadi perang gerilya di wilayah Aceh. Para pemimpin perang juga mulai hijrah ke Daerah Pidie, Aceh Utara, Aceh Tengah, dan Aceh Timur. Salah satu daerah perang gerilya ialah Daerah Laweung dan Batee. Pocut Meurah Intan adalah pemimpin perang gerilya di Daerah Laweung. Hal ini dilandasi oleh menyerahnya sang suami kepada Belanda. Padahal sebelumnya mereka berkomitmen untuk melawan Belanda sampai akhir. Menyerahnya suaminya kepada Belanda juga memicu Pocut Meurah Intan untuk menceraikan suaminya tersebut. Setelah bercerai dengan suaminya, Pocut Meurah Intan bertekad untuk berjuang melawan Belanda. Pocut Meurah Intan juga mengajak ketiga putra untuk ikut berperang. Beliau memimpin pasukan keluar-masuk hutan. Begitu seringnya Pocut Meurah Intan bersama pasukannya menyerang pasukan Belanda sehingga beliau masuk dalam daftar buronan Belanda. Pasukan marsose Belanda berusaha mengadakan patroli dan pengejaran terhadap pasukan Pocut Meurah Intan. Berkat semangat berjuang bersama ketiga anaknya. Pocut Meurah Intan semakin kuat melawan Belanda. Namun, putra pertama yaitu Tuanku Muhammad atau Muhammad Batee tertangkap pada bulan Februari 1900. Tertangkapnya putra pertama membuat Pocut Meurah Intan semakin bersemangat. Cintanya dengan tanah kelahiran yang diilhami oleh kepercayaaan pada agama dan pendidikan dari guru beliau dan ditambah pula pengaruh dari cerita Hikayat Perang Sabil, membuat Pocut Meurah Intan tidak kenal menyerah. Dalam setiap pertempuran, beliau bersama dua putranya dan panglima perang yang setia selalu gigih dalam berjuang. Namun, walaupun Pocut Meurah Intan memiliki daya juang yang tinggi, pada tanggal 11 November 1902, Pocut Meurah Intan tertangkap di Gampong Sigli.
Tertangkapnya Pocut Meurah Intan memberikan kesan tersendiri. Hal ini diceritakan oleh H.C.Zentgraaff, seorang wartawan Belanda dan pemimpin redaksi koran De Java Bode yang meliput perang di Aceh. Zentgraaff menceritakan bahwa Pocut Meurah Intan dikejar oleh 18 orang marsose (marechaussee/serdadu) yang dipimpin oleh Veltman. Marsose adalah satuan militer yang dibentuk pada masa kolonial Hindia Belanda sebagai pasukan taktis melawan gerilyawan Aceh termasuk menangkap Pocut Meurah Intan. Pocut Meurah Intan yang dalam keadaan sendiri namun tidak menyerah begitu saja. Dengan rencongnya, beliau menusuk seluruh pasukan marsose tanpa takut. Dalam penyerangan tersebut, Pocut Meurah Intan terluka parah. Veltman pun justru berusaha menolongnya. Tapi Pocut Meurah Intan menolaknya. Dengan penyembuhan luka yang dilakukannya sendiri, membuat dirinya mengalami kecacatan di kakinya. Karena semangat beraninya, Belanda menjulukinya ‘Heldhafting’ yang memiliki arti ‘yang gagah berani’.
Setelah Pocut Meurah Intan tertangkap. Pocut Meurah Intan bersama putra keduanya, Tuanku Budiman, ditahan di Aceh. Sementara itu, putra bungsu Pocut Meurah Intan yaitu Tuanku Nurdin tetap meneruskan perjuangan ibunya di kawasan Laweueng dan Kalee.Namun pada tanggal 18 Februari 1905, Belanda mampu menangkap di Desa Lhok Kaju. Tuanku Nurdin ditahan bersama dengan ibunya dan kakaknya. Pada tanggal 6 Mei 1905, Pocut Meurah Intan bersama kedua putranya dan seorang keluarga Sultan Aceh bernama Tuanku Ibrahim dibuang ke Blora, Jawa Tengah tepatnya di desa Muman. Putra pertama Pocut Meurah Intan, Tuanku Muhammad, justru terpisah dan dibuang ke Tondano, Sulawesi Utara. Di tempat pembuangannya itu, Pocut Meurah Intan yang belum banyak dikenal orang. Selama pembuangannya tersebut, masyarakat Blora lebih mengenal dengan nama “ Mbah Tjutâ€. Dalam pembuangannya, beliau tidak dapat lagi berjuang karena terkendala komunikasi dengan pengikut-pengikutnya. Sampai akhirnya Beliau wafat di usia sekitar 105 tahun. Beliau dimakamkan di pemakaman umum Desa Tegal Sari, Kabupaten Blora tepatnya pada tanggal 19 September 1937.
Pocut Meurah Intan merupakan wanita di bidang pertahanan dan kemiliteran yang perlu dicontoh. Beliau berjuang demi martabat bangsanya tanpa mengorbankan waktu dengan anak-anaknya. Justru beliau maju bersama berjuang bersama anak-anaknya. Wanita seperti Pocut Meurah Intan mampu berjuang tanpa mengabaikan perhatian terhadap anak-anaknya. Pocut Meurah Intan mampu memberikan rasa bangga terhadap anak-anaknya sehingga harga diri dan kepercayaan bangsanya terutama Rakyat Aceh agar selalu terus berjuang melawan Belanda. Pocut Meurah Intan adalah seorang ibu yang piawai dan pejuang yang teguh dalam pendirian. Beliau merupakan wakil dari Rakyat Aceh sebagai bagian dari perjuangan. Beliau pula adalah pahlawan bagi kaumnya dan bangsanya. Meskipun kini mulai dilupakan oleh bangsanya sendiri.
Pocut Meurah Intan namanya. Lahir di Biheue pada tahun 1833. Biheue adalah sebuah uleebalang (kenegerian) yang merupakan Wilayah Sagi XXII Mukim di bawah kekuasaan Kesultanan Aceh. Kesultanan Aceh merupakan Kerajaan di wilayah Aceh yang berdiri pada tahun 1496 sampai dengan 1903. Dengan raja yang terkenal adalah Sultan Iskandar Muda. Wilayah Sagi XXII Mukim merupakan tempat Panglima Polim juga berjuang melawan pemerintah kolonial Belanda. Pada perkembangannya, Biheue masuk Wilayah XXII Mukim terdiri dari wilayah Pidie, Batee, Padang Tiji, Kale, dan Laweueng dikarenakan terjadi krisis politik pada akhir abad ke-19. Krisis politik tersebut diakibatkan terjadinya perampasan daerah oleh Teuku Raja Pakeh Pidie atas dukungan Teungku di Boloh. Daerah tersebut merupakan bagian dari Kabupaten Aceh Besar.
Pocut Meurah Intan adalah putri keturunan dari kalangan Kesultanan Aceh. Ayahnya merupakan seorang Kejruen (Kepala Negeri) Biheue. Pocut Meurah Intan memiliki suami bernama Tuanku Abdul Madjid bin Tuanku Abbas bin Sultan Alaidin Jauhar Syah Alam. Tuanku Abdul Madjid bekerja di bagian bea cukai di Pelabuhan Kuala Batee. Dari perkawinan dengan Tuanku Abdul Madjid, Pocut Meurah Intan memiliki 3 (tiga) orang putra bernama Tuanku Muhammad atau biasa dikenal Tuanku Muhammad Batee, Tuanku Budiman, Tuanku Nurdin. Kesemua anaknya berjuang dalam Perang Aceh. Perang Aceh adalah peperangan yang terjadi antara Kesultanan Aceh dengan Pemerintah Belanda yang dimulai pada tahun 1873 ditandai dengan datangnya Kapal Belanda di Pantai Kotaraja. Pocut Meurah Intan juga merupakan ibu tiri dari permaisuri Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah (Sultan terakhir Kesultanan Aceh).Pocut Meurah merupakan nama panggilan khusus bagi wanita keturunan keluarga Kesultanan Aceh. Pocut Meurah Intan juga dipanggil juga dengan Pocut Biheue karena beliau berasal dari Biheue. Dalam perjuangannya selalu didampingi seorang panglima perang bernama Mahmud atau Waki Mud.
Setelah meninggalnya Sultan Alauddin Mahmud Syah, dilantiklah Sultan Alaiuiddin Muhammad Daud Syah menjadi Sultan Kerajaan Aceh yang masih berusia 10 tahun. Hal ibukota kerajaan dipindahkan ke Kemala dan pada saat itu pula peperangan di wilayah Aceh semakin dahsyat dan sifat peperangan berubah menjadi perang gerilya di wilayah Aceh. Para pemimpin perang juga mulai hijrah ke Daerah Pidie, Aceh Utara, Aceh Tengah, dan Aceh Timur. Salah satu daerah perang gerilya ialah Daerah Laweung dan Batee. Pocut Meurah Intan adalah pemimpin perang gerilya di Daerah Laweung. Hal ini dilandasi oleh menyerahnya sang suami kepada Belanda. Padahal sebelumnya mereka berkomitmen untuk melawan Belanda sampai akhir. Menyerahnya suaminya kepada Belanda juga memicu Pocut Meurah Intan untuk menceraikan suaminya tersebut. Setelah bercerai dengan suaminya, Pocut Meurah Intan bertekad untuk berjuang melawan Belanda. Pocut Meurah Intan juga mengajak ketiga putra untuk ikut berperang. Beliau memimpin pasukan keluar-masuk hutan. Begitu seringnya Pocut Meurah Intan bersama pasukannya menyerang pasukan Belanda sehingga beliau masuk dalam daftar buronan Belanda. Pasukan marsose Belanda berusaha mengadakan patroli dan pengejaran terhadap pasukan Pocut Meurah Intan. Berkat semangat berjuang bersama ketiga anaknya. Pocut Meurah Intan semakin kuat melawan Belanda. Namun, putra pertama yaitu Tuanku Muhammad atau Muhammad Batee tertangkap pada bulan Februari 1900. Tertangkapnya putra pertama membuat Pocut Meurah Intan semakin bersemangat. Cintanya dengan tanah kelahiran yang diilhami oleh kepercayaaan pada agama dan pendidikan dari guru beliau dan ditambah pula pengaruh dari cerita Hikayat Perang Sabil, membuat Pocut Meurah Intan tidak kenal menyerah. Dalam setiap pertempuran, beliau bersama dua putranya dan panglima perang yang setia selalu gigih dalam berjuang. Namun, walaupun Pocut Meurah Intan memiliki daya juang yang tinggi, pada tanggal 11 November 1902, Pocut Meurah Intan tertangkap di Gampong Sigli.
Tertangkapnya Pocut Meurah Intan memberikan kesan tersendiri. Hal ini diceritakan oleh H.C.Zentgraaff, seorang wartawan Belanda dan pemimpin redaksi koran De Java Bode yang meliput perang di Aceh. Zentgraaff menceritakan bahwa Pocut Meurah Intan dikejar oleh 18 orang marsose (marechaussee/serdadu) yang dipimpin oleh Veltman. Marsose adalah satuan militer yang dibentuk pada masa kolonial Hindia Belanda sebagai pasukan taktis melawan gerilyawan Aceh termasuk menangkap Pocut Meurah Intan. Pocut Meurah Intan yang dalam keadaan sendiri namun tidak menyerah begitu saja. Dengan rencongnya, beliau menusuk seluruh pasukan marsose tanpa takut. Dalam penyerangan tersebut, Pocut Meurah Intan terluka parah. Veltman pun justru berusaha menolongnya. Tapi Pocut Meurah Intan menolaknya. Dengan penyembuhan luka yang dilakukannya sendiri, membuat dirinya mengalami kecacatan di kakinya. Karena semangat beraninya, Belanda menjulukinya ‘Heldhafting’ yang memiliki arti ‘yang gagah berani’.
Setelah Pocut Meurah Intan tertangkap. Pocut Meurah Intan bersama putra keduanya, Tuanku Budiman, ditahan di Aceh. Sementara itu, putra bungsu Pocut Meurah Intan yaitu Tuanku Nurdin tetap meneruskan perjuangan ibunya di kawasan Laweueng dan Kalee.Namun pada tanggal 18 Februari 1905, Belanda mampu menangkap di Desa Lhok Kaju. Tuanku Nurdin ditahan bersama dengan ibunya dan kakaknya. Pada tanggal 6 Mei 1905, Pocut Meurah Intan bersama kedua putranya dan seorang keluarga Sultan Aceh bernama Tuanku Ibrahim dibuang ke Blora, Jawa Tengah tepatnya di desa Muman. Putra pertama Pocut Meurah Intan, Tuanku Muhammad, justru terpisah dan dibuang ke Tondano, Sulawesi Utara. Di tempat pembuangannya itu, Pocut Meurah Intan yang belum banyak dikenal orang. Selama pembuangannya tersebut, masyarakat Blora lebih mengenal dengan nama “ Mbah Tjutâ€. Dalam pembuangannya, beliau tidak dapat lagi berjuang karena terkendala komunikasi dengan pengikut-pengikutnya. Sampai akhirnya Beliau wafat di usia sekitar 105 tahun. Beliau dimakamkan di pemakaman umum Desa Tegal Sari, Kabupaten Blora tepatnya pada tanggal 19 September 1937.
Pocut Meurah Intan merupakan wanita di bidang pertahanan dan kemiliteran yang perlu dicontoh. Beliau berjuang demi martabat bangsanya tanpa mengorbankan waktu dengan anak-anaknya. Justru beliau maju bersama berjuang bersama anak-anaknya. Wanita seperti Pocut Meurah Intan mampu berjuang tanpa mengabaikan perhatian terhadap anak-anaknya. Pocut Meurah Intan mampu memberikan rasa bangga terhadap anak-anaknya sehingga harga diri dan kepercayaan bangsanya terutama Rakyat Aceh agar selalu terus berjuang melawan Belanda. Pocut Meurah Intan adalah seorang ibu yang piawai dan pejuang yang teguh dalam pendirian. Beliau merupakan wakil dari Rakyat Aceh sebagai bagian dari perjuangan. Beliau pula adalah pahlawan bagi kaumnya dan bangsanya. Meskipun kini mulai dilupakan oleh bangsanya sendiri.
0 comments:
Post a Comment