Pocut
Baren lahir di Tungkop. Ia putri seorang uleebalang Tungkop bernama
Teuku Cut Amat. Daerah uleebalang Tungkop terletak di Pantai Barta Aceh.
Suaminya juga seorang uleebalang yang memimpin perlawanan di Woyla.
Pocut Baren merupakan profil wanita yang tahan menderita, sanggup hidup
waktu lama dalam pengembaraan di gunung dan hutan belantara mendampingi
suaminya. Ia disegani oleh para pengikut, rakyat dan juga musuh. Ia
berjuang sejak muda dari tahun 1903 hingga tahun 1910.Ia
memimpin pasukannya di belahan barat bersamaan dengan Cut Nyak Dien
ketika masih aktif dalam perjuangan. Ia telah mempersiapkan dirinya –
bila kelak ditinggalkan oleh suaminya dan sudah tahu apa harus diperbuat
nantinya. Ketika suaminya tertembak Belanda, tidak membuat Pocut Baren
mundur. Semangatnya malah semakin menggebu.
Suatu
penyerangan besar-besar dibawah pimpinan Letnan Hoogers, meluluhkan
benteng pertahanan Pocut Baren. Kaki Pocut Baren tertembak dan dibawa ke
Meulaboh. Selama ditawan di Meulaboh, luka tembaknya tidak kunjung
membaik. Kemudian Pocut Baren dibawa ke Kutaraja untuk dilakukan
pengobatan lebih intensif. Namun, dokter memutuskan kakinya diamputasi.
Selama dalam tawanan, Pocut Baren diperlakukan dengan baik. Sebagai
penghargaan atas dirinya, Belanda menghadiahkan sebuah kaki palsu
untuknya – yang didatangkan khusus dari Belanda. Ia wafat tahun 1933.
Meninggalkan rakyatnya yang sangat mencintainya.
Dialah pejuang perempuan dari Aceh Barat yang menggemparkan petinggi
militer Belanda. Tercatat 19 petinggi militer dikerahkan secara
bergantian untuk menangkap dirinya. Ketangguhan dan keberaniannya
membuat Belanda mengerahkan segenap daya dan upaya. Bahkan Belanda
membuat tangsi secara besar-besaran untuk mengepung dirinya. Pocut
Baren telah menorehkan namanya dengan tinta emas sebagai pejuang
perempuan Aceh yang tangguh. Ia mengobarkan perang dari tahun 1903
hingga 1910. Meski seorang perempuan, tetapi tidak menghalanginya untuk
memimpin pasukan menyerbu marsose Belanda.
Pocut Baren adalah seorang bangsawan. Ayahnya bernama Teuku Cut Amat, seorang uleebalang
di Tungkop, Aceh Barat. Masa kecilnya, ia lalui sebagaimana penduduk
Aceh lainnya yaitu belajar ilmu agama. Pocut kecil mengaji kepada para
ulama, baik yang didatangkan kerumahnya maupun mengaji di meunasah, dayah dan masjid.
Pocut dibesarkan dalam lingkungan Aceh yang sedang berkecamuk perang.
Situasi ini membentuknya menjadi seorang perempuan yang berkepribadian
tangguh, berani, dan militan. Jiwa mudanya bergejolak dengan semangat
berkobar-kobar untuk mengusir kaphee (si kafir) Belanda. Ia pun bertekad akan menggabungkan dirinya dengan para pejuang Aceh.
Setelah dewasa, Pocut menikah dengan seorang uleebalang di
Gume. Suaminya merupakan seorang pejuang tangguh yang memimpin
perlawanan rakyat daerah Woyla. Bersama-sama mereka bahu membahu melawan
Belanda. Keluar masuk hutan untuk perang gerilya.
Pocut bukanlah seorang wanita manja. Dia sadar dengan resiko jalan
hidup yang dipilihnya yaitu sebagai pejuang. Dia rela meninggalkan
kemewahan duniawi. Rela naik turun gunung ataupun keluar masuk hutan
untuk berperang gerilya. Ia tahan menderita, sanggup hidup dalam waktu
lama dalam pengembaraannya di gunung-gunung dan hutan belantara.
Pengalaman dan penderitaan hidup seperti itu mulai ia jalani semasa
berjuang bersama-sama dengan Cut Nyak Dhien di masa gadisnya.
Kesederhanaan dan keteguhan prinsip mewarnai kehidupannya setelah
menikah. Dan Pocut tidak pernah mengeluh atas kerasnya kehidupan yang
dijalaninya. Dia bahagia dan bangga dapat membaktikan hidupnya demi
kemuliaaan agama dan bangsa.
Wataknya yang pemberani, tabah dan ulet menjadi modal yang berharga
dalam perjuangan. la sangat dihormati dan disegani oleh teman-teman
seperjuangannya. Ia juga ditaati oleh para pengikutnya. Bahkan ia
ditakuti oleh musuh-musuhnya. Hal ini diakui sendiri oleh Doup, salah seorang mantan Komandan marsose di Aceh. Doup mengabadikan perjuangan Pocut Baren dalam buku Gedenk book van het Korps Marechaussee. Pocut telah berhasil membuat pasukan Belanda kalang kabut dan menelan kerugian besar.
Pocut hidup sezaman dengan Cut Nyak Dhien. Pocut dan Cut Nyak Dhien
sama-sama berjuang di daerah Aceh Barat. Mereka bahu-membahu melancarkan
perang gerilya. Mereka sama-sama hidup di dalam hutan belantara sebagai
basis pertahanan. Jadi pada masa itu di Aceh Barat terdapat dua pejuang
wanita yang tangguh dan sangat merugikan Belanda. Ketika Cut Nyak Dhien
tertangkapa pada tanggal 4 Nopember 1905, Pocut tetap melanjutkan
perjuangannya hingga tahun 1910. Bahkan ketika suaminya syahid di salah
satu pertempuran, Pocut tetap teguh berjuang. Ia tidak mundur setapak
pun dari jalan perjuangan. Ia memimpin pasukannya untuk tetap tegar di
jalan perjuangan hingga syahid menjelang. Hidup mulia atau mati syahid
adalah prinsip hidupnya.
Belanda mengira Pocut akan menyerah setelah kematian suaminya.
Belanda sudah merasa di atas angin melihat Cut Nyak Dhien menyerah dan
suami Pocut Baren meninggal. Belanda yakin Pocut Baren pasti sudah lemah
dan mudah ditaklukan. Tetapi ternyata perkiraan Belanda meleset jauh.
Pocut tetap tegar melanjutkan perjuangan meskipun seorang diri memimpin
pasukan. Ia memobilisasi penduduk Aceh Barat untuk bergabung dalam
jihad fie sabilillah menegakan agama Alloh dan membela bangsa. Penduduk
pun menyambut dengan penuh semangat ajakan Pocut Baren tersebut. Bahkan
Pocut Baren bersama anak buahnya membangun benteng di Gunong Mancang
sebagai basis pertahanan.
Dari benteng inilah segala taktik dan siasat diatur. Pocut
berkoordinasi dengan anak buahnya untuk melakukan serangan-serangan ke
tangsi militer maupun patroli Belanda. Di benteng kokoh inilah Pocut
memimpin perang selama bertahun-tahun. Benteng ini sulit ditaklukan
karena letaknya yang strategis di puncak bukit. Belanda kewalahan
menghadapi perlawanan Pocut yang semakin gigih. Akhirnya Belanda
membangun dua tangsi militer secara besar-besaran yaitu di Kuala Bhee
dan Tanoh Mirah.
Pocut mampu bertahan selama bertahun-tahun di bentengnya. Letaknya
yang strategis dan dukungan penuh dari masyarakat membuat ia dapat
bertahan dengan baik. Daerah Aceh Barat merupkana daerah penghasil emas
yang makmur. Banyak pendatang dari luar Aceh yang datang ke daerah ini
untuk mengadu nasib. Masyarakat sangat mencintai Pocut Baren. Mereka
menyumbangkan harta bahkan jiwanya untuk mendukung perjuangan Pocut.
Sungguh, tak ada yang menyangkal bahwa masyarakat Aceh adalah masyarakat
yang heroik. Mereka bersedia menyerahkan hartanya bahkan jiwanya untuk
membela agama Alloh serta bangsa dan negaranya.
Belanda kewalahan, mereka mengepung benteng Pocut selama
bertahun-tahun tanpa hasil. Belanda belum berani menyerang benteng
secara langsung karena letaknya yang strategis. Berbagai taktik dan
siasat dilancarkan untuk merebut benteng tersebut. Tercatat ada 19
petinggi militer yang berusaha menaklukan Pocut Baren. Doup, seorang tentara dan jurnalis Belanda menuliskan:”
Para pemimpin patroli pemburu Pocut Baren adalah tokoh-tokoh Belanda
yang terkemuka dan terkenal amat berpengalaman dalam pertempuran. Hal
ini menunjukkan bahwa wanita itu memang dianggap sebagai lawan tangguh
bagi Belanda. Mereka itu antara lain adalah Letnan J.H.C. Vastenon,
Letnan O.O. Brewer, Letnan W. Hogers, Kapten T.J. Veltman, Kapten A.
Geersema Beckerrigh, Kapten F. Daarlang, Letnan A.H. Beanewitz, Letnan
H.J. Kniper, Sersan Teutelink, Sersan van Daalen, Sersan Bron, Letnan
C.A. Reumpol, Letnan W.v.d. Vlerk, Letnan W.L. Kramers, Letnan H.
Scheurleer, Letnan Romswinkel, Sersan Duyts, Sersan de Jong, Sersan
Gackenstaetter dan lain-lain.”
Akhirnya Belanda mendatangkan bala bantuan tentara dari Batavia
(Jakarta). Gabungan pasukan Belanda dari Aceh dan Batavia tersebut
dipersenjatai dengan senjata-senjata canggih untuk ukuran zaman itu.
Mereka dilatih untuk menguasai medan terlebih dulu. Setelah dilatih
selama berbulan-bulan akhirnya pasukan gabungan tersebut menyerbu
benteng pertahanan Pocut Baren di Gunung Mancang.
Dengan dipimpin oleh Letnan Hoogers, pasukan Belanda
membombardir benteng Pocut dengan meriam dan senjata api. Pasukan Pocut
yang hanya dipersenjatai dengan senjata sederhana dan tradisional
seperti rencong, pedang, golok dan beberapa pucuk senjata api terdesak.
Meskipun mereka bertahan secara mati-matian dan mengerahkan segenap
kemampuan yang ada, tapi mereka kalah secara persenjataan dan jumlah
tentara. Meski sadar akan kalah tapi Pocut Baren dengan gagah berani
memimpin pasukannya untuk berperang sampai titik darah penghabisan.
Akhirnya Pocut Baren tertembak dan lukanya cukup parah. Kakinya terkena
timah panas yang menyebabkan dia roboh bersimbah darah. Pasukannya pun
kocar-kacir. Dengan jatuhnya Pocut Baren maka benteng Gunong Mancang
yang gagah bertahan selama bertahun-tahun akhirnya bisa direbut oleh
Belanda. Pocut pun ditangkap dan dijadikan tawanan oleh Belanda. Pocut
dibawa ke Meulaboh. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1910, tahun
berakhirnya perlawanan Pocut Baren, pendekar Aceh Barat yang gagah
berani
Kaki Pocut terkena infeksi cukup parah. Tim dokter Belanda yang ada
di Meulaboh tidak sanggup untuk mengobatinya. Akhirnya Pocut di bawa ke
Kutaraja (Banda Aceh) untuk mendapatkan pengobatan yang lebih baik.
Semakin hari luka infeksi di kaki Pocut semakin parah. Untuk
menyelamatkan jiwanya, akhirnya tim dokter mengambil keputusan untuk
mengamputasi kakinya. Keputusan amputasi kaki ini sempat mengagetkan
Pocut, tapi akhirnya Pocut menerima keputusan tersebut dengan jiwa
besar. Kaki yang selama ini dipergunakan untuk berjuang di jalan Alloh,
dengan berat hati di ikhlaskan Pocut untuk di amputasi.
Selama menjadi tawanan di Kutaraja, Pocut diperlakukan dengan baik
oleh Belanda. Mereka menghormati keberanian pendekar wanita dari Tungkop
ini. Setelah proses amputasi dan perawatan kakinya sudah dinyatakan
sembuh, Gubernur militer Aceh Van Daalen menjatuhkan hukuman buang ke tanah Jawa.
Mengetahui vonis hukum buang bagi Pocut Baren tersebut, seorang perwira Belanda TJ.Veltman memberi masukan kepada Van Daalen. TJ.Veltmaan adalah seorang perwira Belanda yang fasih berbahasa Aceh. Dia menyarankan agar Pocut dikembalikan menjadi uleebalang ke Tungkop saja, daerah kelahirannya. Dengan harapan Pocut akan menghentikan perlawanannya terhadap Belanda. Veltmaan
berpikir, kaki Pocut yang tinggal sebelah saja akan menyurutkan
langkahnya untuk berjuang. Dan Veltmaan pun tahu bahwa Pocut Baren
bukanlah sembarang wanita, tapi wanita yang sangat cerdas dan berani.
Apa kata Pocut pasti diikuti oleh rakyatnya. Usul tersebut diterima oleh
Van Daalen. Akhirnya Pocut tidak jadi dihukum buang ke pulau Jawa, tapi justru diangkat menjadi uleebalang di Tungkop.
Sekembalinya Pocut Baren ke Tungkop dan menjadi uleebalang,
dia berusaha keras untuk membangun kembali daerahnya. Tungkop adalah
daerah yang subur dan kaya akan bahan tambang emas. Meski daerahnya
subur dan kaya, tetapi rakyatnya sangat miskin. Mereka tidak sempat
mengolah tanah pertaniannya karena sibuk berperang selama
bertahun-tahun.
Pocut sadar bahwa kakinya yang sudah hilang sebelah menjadi kendala
bagi dirinya untuk berjuang secara frontal melawan Belanda. Akhirnya
Pocut mengubah haluan perjuangannya dari berjuang secara frontal menjadi
perjuangan untuk memakmurkan rakyatnya. Pocut memikirkan dengan
sungguh-sungguh upaya untuk memakmurkan rakyatnya.
Di bidang pertanian, Pocut membuat kebijakan untuk penanaman kembali
secara besar-besaran lahan penduduk yang selama ini terbengkelai. Pocut
mewajibkan penduduk untuk menanami kembali sawahnya dengan padi.
Masyarakat juga diwajibkan untuk menanami kebunnya dengan tanaman
kelapa, pala, kakau, cengkih, nilam, mangga, pisang, jagung dan
lain-lain tanaman yang bermanfaat bagi dirinya dan masyarakat.
Agar pertanian dapat berkembang pesat, harus diiringi irigasi yang
bagus. Pocut Baren pun membuat sistem irigasi yang handal. Ia
menggerakkan rakyatnya untuk membangun saluran irigasi yang airnya
dialirkan dari sungai-sungai besar ke sawah-sawah penduduk. Dengan
demikian pada musim kemarau sawah-ladang milik petani tidak akan
kekeringan. Untuk menghindarkan perselisihan di antara para petani, maka
diadakan pembagian air secara bergilir. Sedangkan untuk menghindarkan
serangan hama dan penyakit tanaman, Pocut Baren menyarankan agar para
Petani menanam padi secara serempak, sehingga siklus kehidupan hama
dapat diputus.
Kebijakan Pocut ini ditaati oleh rakyatnya. Dan sebagai hasilnya,
hasil pertanian daerah Tungkop mengalami surplus. Kelebihan tersebut
dikirim ke daerah-daerah disekitarnya. Pocut bahagia dapat membangkitkan
kembali perekonomian daerahnya yang selama ini terlantar. Pocut pun
bertekad akan memakmurkan daerah Tungkop yang dipimpinnya.
Para petani bergiat kembali mengerjakan sawah ladangnya. Para nelayan
kembali melaut mencari ikan. Dan para penambang emas kembali memburu
emas. Perekonomian di Tungkop benar-benar bergairah kembali dibawah
pimpinan Pocut Baren. Seorang Uleebalang perempuan yang mendapat julukan De Vrouwelijke Oeleebalang methet houten been.
Disamping ahli di bidang pemerintahan dan pertanian, ternyata Pocut
Baren juga memiliki bakat terpendam sebagai seorang penyair.
Karya-karyanya sering dibacakan dalam acara-acara resmi ataupun acara
keluarga. Hingga kini sebagian masyarakat Aceh masih melantunkan
syair-syair karya Pocut Baren. Bahkan syair-syair Pocut Baren yang
berbahasa Melayu dan Arab tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa
Belanda. Sebagian karya Pocut Baren diabadikan dan disimpan di
Universitas Leiden Belanda.
Sungguh hebat dan cerdas srikandi dari Tungkop ini. Disamping gagah
berani di medan perang ternyata ia juga cerdas di bidang pemerintahan,
pertanian, dan kesusateraan. Tak heran jika rakyatnya sangat menghormati
dan mencintainya. Dibawah kepemimpiannnya Tungkop menjadi daerah yang
makmur.
Perubahan yang menyolok dari daerah miskin yang rawan pemberontakan
menjadi daerah yang aman dan makmur membuat pemerintah Belanda yang
membawahi daerah tersebut menjadi gembira. Adalah Letnan H. Scheurleer,
Komandan Bivak Tanoh Mirah yang juga merangkap penguasa sipil di daerah
tersebut. la melaporkan kepada atasannya di Kutaraja bahwa Pocut Baren
telah berusaha dengan sungguh-sungguh menciptakan ketertiban, keamanan
dan kemakmuran. Sebagai tanda terima kasihnya, Veltman sekali lagi
memperlihatkan kebaikan hatinya kepada Pocut Baren. Ia menghadiahkan
sebuah kaki palsu yang di buat dari kayu untuk wanita itu. Kaki palsu
tersebut didatangkan langsung dari negeri Belanda.
Pocut Baren mengabdikan dirinya di Tungkop hingga akhir hayatnya. Ia
meninggal pada tahun 1933. Seluruh rakyatnya merasa sangat kehilangan uleebalang
yang begitu berwibawa. Mereka berterimaksih kepada Pocut Baren yang
telah membawa angin perubahan di Tungkop. Meski telah meninggal tapi
nama Pocut Baren tetap abadi dan menjadi teladan bagi seluruh rakyat
Aceh, bahkan seluruh rakyat Indonesia. Meski ia berkaki kayu tapi tidak
menghalangi dirinya untuk berbakti bagi agama dan bangsanya. Kekurangan
dirinya tidak menyebabkan ia menjadi lemah dan mengasihani dirinya
sendiri. Tapi kekurangan itu justru menjadi pemicu untuk tetap berkarya
hingga akhir hayatnya. Selamat jalan Pocut Baren...kaki kayumu menjadi
inspirasi bagi kami untuk senantiasa berkarya ditengah segala kelemahan
diri.
Salatiga, 21 Nopember 2012
Sungguh saya jatuh cinta terhadap pendekar-pendekar dari Aceh.
Keberanian dan kecerdasan mereka juga membuat jatuh cinta para jurnalis
Belanda seperti Zentgraaf dan Doup.
Merekalah yang mengabadikan keheroikan perempuan Aceh dengan penuh rasa
hormat. Mereka mengabadikan perang Aceh beserta para tokohnya dalam
buku-buku yang disimpan di Universitas Leiden Belanda...Tapi kita,
bangsa Indonesia justru tak pernah mengenal nama srikandi-srikandi dari
Aceh....sangat ironis.....
0 comments:
Post a Comment