Sunday, May 4, 2014

LAMNO KETURUNAN PORTUGIS SI MATA BIRU

KEHADIRAN orang Portugis di daerah Aceh, ratusan tahun yang lalu, hingga sekarang masih meninggalkan bekasnya. Tepatnya di daerah Lamno, Kabupaten Aceh Jaya atau kurang lebih 81 km dari Banda Aceh ke sebelah barat. Peninggalan orang Porto (begitu panggilannya-red) di Lamno yakni gadis cantik yang bermata biru, hidung mancung, kulih putih dengan perawakan yang tinggi di atas rata-rata warga Aceh lainnya.
Budayawan Lamno M. Yunus mengemukakan orang Portugis masuk ke Lamno sekira tahun 1492. Waktu itu, di Lamno ada kerajaan kecil yang kaya dengan rempah-rempah, seperti lada dan lainnya. Di bawah Raja Pahlawan Syah (Sultan Alaidin Riayah Syah II) atau lebih dikenal dengan nama Marhum Daya, Kerajaan Lamno berhasil menjalin hubungan perdagangan dengan orang Portugis.Kerajaan Lamno ini berpusat di Keluang atau Kuala Daya daerah pinggir pantai. Di lokasi itu juga dulu dibangun pelabuhan laut Lamno sebagai tempat berlabuh kapal laut dari luar daerah. Karena memiliki pelabuhan yang memadai dan strategis di Samudra Hindia, perdagangan antara Portugis dengan Lamno berjalan dengan baik. Sistem perdagangan waktu itu masih menggunakan barter.

Orang-orang Porto itu membawa lada dan tembakau dari Lamno.
Karena hubungan perdagangan itu, ada di antara pedagang Portugis yang tertarik dengan gadis asal Lamno. Akhirnya di antara mereka ada yang meminang gadis setempat, dan menetap tinggal di daerah Kuala Daya dan di Lamso, masih masuk ke daerah Lamno. Saat itulah secara turun-temurun lahir keturunan orang Portugis di Lamno.Selain orang Portugis di Lamno, sebenarnya masuk juga pedagang dari Cina, India, Arab, hingga VOC sendiri. Bahkan konon ACEH adalah singkatan dari Arab, Cina, Eropa, dan Hindustan (India). Maka pada zaman itu, Aceh benar-benar merupakan sebuah daerah kosmopolitan.

Itu dibuktikan dengan ditemukannya mata uang kuno di Lamno. Yunus menunjukkan delapan mata uang kuno, yang di temukan di sekitar pelabuhan. Mata uang itu, diyakini mata uang VOC karena berlambangkan atau bertuliskan VOC, Arab (ada tulisan Arabnya), Cina (bahasa Cina), dan India.Dengan adanya mata uang itu, kemungkinan besar pelabuhan di Lamno ini dulu sangat ramai sebagai pusat perdagangan. "Makanya, saat ini selain ada keturunan Portugis, ada juga keturunan Arab maupun India di daerah Lamno ini," papar Yunus kepada "PR". Keturunan Arab juga dimungkinkan adalah yang menyebarkan Islam di daerah ini, termasuk keturunan Portugis juga beragama Islam.

Hanya, kejayaan Lamno mulai pudar, itu terjadi saat Raja Alaidin Riayah Syah II yang merupakan putra dari Raja Inayatsyah meninggal pada 1508. Setelah raja Alaidin ini meninggal, Kerajaan Lamno masuk menjadi bagian wilayah Kerajaan Aceh Darussalam. Hal itu terjadi karena Putri Alaidin yakni putri Hur (pewaris takhta) menikah dengan Raja Sultan Halim Murayat Syah (Raja Aceh Darussalam). Sejak itu, pelabuhan Lamno menjadi sepi, karena pusat perdaganan dialihkan oleh raja baru ke Sabang dan Banda Aceh.Para pedagang dari Portugis maupun India saat itu juga tidak lagi masuk ke Lamno. Namun, orang Portugis yang sudah berkeluarga di daerah itu menetap untuk selamanya. Mereka bekerja sebagaimana warga setempat yaitu melaut dan bertani. Karena pelabuhan sepi, lambat laun usaha lada dan tembakau mulai ditinggalkan oleh warga setempat.

Alasannya, karena untuk menjualnya menjadi sulit dan harga murah. Nama Lamno sebagai penghasil lada dan tembakau pun sekaligus sebagai pusat perdagangan internasional akhirnya meredup dari tahun ke tahun. Bahkan, kini sangat jarang sekali tanaman lada atau usaha tembakau digeluti oleh warga daerah ini. Julukan kota perdagangan untuk Lamno pun akhirnya memudar.Julukan kota perdagangan serta penghasil rempah-rempah boleh saja pudar. Tapi, satu julukan yang akhirnya tak pernah pudar untuk daerah Lamno adalah sebagai tempat lahirnya gadis si mata biru. Karena kecantikan gadis yang tetap bersinar dari abad ke abad, akhirnya membuat daerah Lamno masih terkenal di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), hingga sekarang.Menyebut nama Lamno, di Aceh sepertinya sudah identik dengan gadis keturunan Porto yang jelita.
Menurut Burhanudin (58), warga Lamno yang masih keturunan Portugis, kepada masalah kecantikan keturunan Portugis, sudah lama dikenal di Aceh. Bahkan, kalau ada perayaan Marhum Daya, banyak orang berdatangan ke Lamno. Perayaan pada hari Lebaran Iduladha itu dapat dipastikan gadis-gadis Porto yang ada di daerah Lamno kumpul. Baik yang ada di Lamno maupun di luar daerah ini. "Itu orang banyak memperhatikan kecantikan gadis-gadis Lamno yang keturunan Portugis," paparnya.

Burhanudin yang mengaku generasi kelima asal Porto, memaparkan, keluarga yang masih keturunan Portugis itu, sebagian besar tinggal di Kuala Daya dan Lamso. Diperkirakan jumlahnya kurang lebih 150 orang (sebelum tsunami). Keluarga asal darah Porto ini bekerja sebagai nelayan dan bertani sawah atau kebun, sebagaimana umumnya warga sekitar."Kehidupannya juga tidak jauh atau sama dengan warga sekitar. Ada yang istimewa dari keluarga keturunan Porto, seperti kami ini. Karena hanya fisik saja yang beda, lainnya mulai dari bahasa, budaya, dan pekerjaan sama saja," jelasnya.
Menurut cerita begitu pemalunya warga Lamno bermata biru turunan Portugis ini hingga mereka hanya bergaul dalam kelompok mereka atau dengan orang desa yang mereka kenal saja. Perkawinan pun hanya terjadi sesama turunan Portugis. Tetapi, belakangan ini karakter malu itu mulai berobah karena akhirnya mereka menyadari bahwa mereka adalah orang Aceh juga.
Hingga ada juga satu atau dua gadisnya yang mau menikah dengan warga Lamno lainnya, dan bahkan banyak juga yang berhasil diboyong orang Aceh lainnya. Memang hingga sekarang sulit sekali mempersunting gadis Lamno ini dan mereka memang wanita-wanita berwajah cantik yang taat sekali beribadat, dan kebanyakan mereka belajar di sekolah-sekolah Agama Islam atau Pesantren dan kemudian melanjutkan kuliahnya ke Institut Agama Islam Negeri (IAIN) di Banda Aceh.

Adat istiadat warga Lamno bermata biru ini tak berbeda dengan adat istiadat dan kebudayaan masyarakat pada umumnya. Bahasa Aceh mereka, logat, maupun aksen, serta pengucapannya sama dengan bahasa Aceh biasa dan berlogat Aceh Barat. Menu makanan, dan makanan khasnya adalah makanan khas Aceh, seperti kari, dan masakan Aceh lainnya. Dan nasi merupakan makanan utamanya.
Seorang pemilik rumah penginapan di Lamno menceritakan pada hari-hari pasar mingguan, wanita dan pria bermata biru ini datang ke Pasar Lamno untuk belanja. “Kalau mau melihat mereka, saat itulah,” kata pemilik Losmen Lamno. Tapi jarang yang mau difoto. Maka untuk mendekati pria atau gadis Lamno bermata biru sebaiknya melalui kepala desa atau tokoh-tokoh Desa Daya yang biasanya lebih terbuka dengan masyarakat luar.

Di Desa Daya juga terdapat sebuah bukit kompleks Makam Marhum Daya. Di batu-batu Nisannya terdapat catatan-catatan sejarah yang tertulis dalam aksara Babilonia dan Arab. Kompleks Makam Marhum Daya ini terpelihara dengan baik dan selalu ada yang berziarah dan membaca ayat-ayat suci Al Quran. Juga banyak yang datang karena tertarik pada sejarah kebesaran Kerajaan Daya.
ADA tradisi yang cukup menarik dalam masyarakat Daya yang juga diikuti oleh warganya yang bermata biru, yaitu perayaan adat Seumeulueng (suguhan makanan) untuk raja dan juga semua rakyat Daya. Perayaan Seumeulueng ini berlangsung pada setiap Hari Raya kedua Idul Adha. Pada hari tersebut, seluruh rakyat Daya dengan dikawal oleh 17 pengawal yang berpakaian unik yakni, jubah hitam dengan kepala dan wajah tertutup oleh kerudung hitam sampai ke dada bagian atas, hanya berlubang pada bagian mata untuk melihat. Jubah itu bergaris-garis merah, dan pasukan pengawal kerajaan itu semuanya mengenakan pedang.

Rakyat yang berjalan dibelakangnya membawa hidangan makanan untuk raja. Tempat upacaranya berada di atas sebuah bukit tak jauh dari kompleks Makam Marhum Daya. Karena Raja Daya tidak ada lagi, maka yang menerima hidangan itu adalah salah seorang dari tokoh masyarakat Daya atau bisa juga salah seorang pejabat Kabupaten Aceh Barat yang dihormati rakyatnya.
Hari itu semua warga Daya keluar dari rumahnya dan mereka mengenakan pakaian yang baru yang indah-indah sebagai tanda ikut merayakan hari Seumeulueng. Upacara ini selalu ramai karena masyarakat Lamno, Meulaboh, ibu kota Aceh Barat, dan juga dari Banda Aceh, datang untuk menyaksikan acara langka dan unik itu.

Semua kegiatan adat Seumeulueng itu jika dikemas dalam satu paket wisata, ditambah dengan situs Kerajaan Daya yang masih tersisa, termasuk Kompleks Makam Marhum Daya yang penuh relief beraksara Babylonia, Turki, dan Arab kuno, akan menjadi daya tarik tersendiri.Menurut Kepala Dinas Pariwisata Aceh Ramli Dahlan, setiap tahun ada turis dari Eropa, di antaranya banyak dari Portugal yang datang ke Lamno sebagai turis. Mereka datang ke bekas Kerajaan Daya itu untuk menyaksikan orang-orang Aceh bermata biru di sana. Di antaranya terdapat peneliti sejarah yang telah mendapat izin dari Pemda Aceh untuk mengadakan penelitian.
 

0 comments:

Post a Comment