Sunday, May 4, 2014

LAKSAMANA MALAHAYATI

Kita mengetahui banyak pelaut tangguh, dan yang kita tahu biasanya mereka semua adalah laki-laki. Tapi siapa sangka, dunia ini ternyata memiliki sejarah tentang betapa hebatnya para pelaut wanita. Sejarah mencatat beberapa pelaut paling terkenal di dunia, yang muncul di tiap era yang berbeda.
Dianggap sebagai salah satu pelaut wanita terbaik di dunia, Grace O’ Malley, wanita asal Irlandia ini memang memperlihatkan keulungan dan kehebatannya sebagai seorang pelaut handal. Melaut baginya bukan hanya karena kecintaannya terhadap profesi pelaut, tapi untuk membuktikan kepada dunia bahwa dialah yang terbaik, dibandingkan dengan rekan-rekan lelaki yang satu kapal dengannya. Sejarah pun mencatat bahwa Grace adalah wanita “bajak laut” terhebat di dunia. Tidak ada yang menyangkali bahwa ketrampilannya melaut melebihi para pelaut laki-laki saat itu.
Masih ada lagi pelaut wanita ulung lainnya. Naomi James yang lahir di sebuah peternakan domba di Selandia Baru. Wanita yang bahkan tidak tahu bagaimana caranya berenang di usianya yang sudah mencapai 23 tahun, pada akhirnya mampu memecahkan rekor dunia dengan berlayar sendirian mengelilingi dunia selama 272 hari.
Lantas siapa pula yang tidak kenal si Laura Dekker. Pada usianya yang masih sangat belia, sekitar 16 tahun, ia sudah berlayar sendirian. Wanita muda asal Belanda ini tiba di kepulauan Karibia, Saint Maarten pada hari Sabtu 21 Januari 2012. Ia berlayar seorang diri selama satu tahun satu hari dengan menggunakan kapal berukuran 11×5 meter, yang ia namai sendiri dengan sebutan ‘Guppy’.
Masih ada beberapa nama pelaut wanita yang sangat hebat di atas laut. Tapi apakah kita tahu bahwa ternyata seorang pelaut wanita asal Indonesia pantas disejajarkan dengan pelaut-peluat wanita ulung tersebut. Namanya memang belum dikenal secara luas, apalagi media barat tidak pernah memberitakan atau mengulasnya. Namanya Malayahati.
Sebagai pelaut dan pejuang wanita, Malahayati pernah memimpin 2000 orang yang terdiri dari para janda yang suaminya telah tewas sebagai pahlawan di medan laga (mereka dikenal dengan sebutan pasukan Inong Balee) untuk berperang melawan kapal-kapal dan benteng-benteng Belanda pada tanggal 11 September 1599. Pada pertempuran tersebut, ia berhasil membunuh Cornelis de Houtman dalam sebuah duel di atas geladak kapal. Oleh karena itulah juga wanita ini memperoleh gelar laksamana. Wanita pertama di dunia yang memperoleh gelar laksamana.
 
Laksamana Keumalahayati merupakan wanita pertama di dunia yang pernah menjadi seorang laksamana. Ia lahir pada masa kejayaan Aceh, tepatnya pada akhir abad ke-XV. Berdasarkan bukti sejarah (manuskrip) yang tersimpan di University Kebangsaan Malaysia dan berangka tahun 1254 H atau sekitar tahun 1875 M, Keumalahayati berasal dari keluarga bangsawan Aceh.
Belum ditemukan catatan sejarah secara pasti yang menyebutkan kapan tahun kelahiran dan tahun kematiannya. Diperkirakan, masa hidupnya sekitar akhir abad XV dan awal abad XVI.
Laksamana Keumalahayati adalah putri dari Laksamana Mahmud Syah. Kakeknya bernama Laksamana Muhammad Said Syah, putra dari Sultan Salahuddin Syah yang memerintah Kesultanan Aceh Darussalam sekitar tahun 1530-1539 M. Sultan Salahuddin Syah merupakan putra dari Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah (1513-1530 M) yang merupakan pendiri Kesultanan Aceh Darussalam. Jika dilihat dari silsilah tersebut, maka dapat dikatakan bahwa Laksamana Keumalahayati merupakan keturunan darah biru atau keluarga bangsawan keraton. Ayah dan kakeknya pernah menjadi laksamana angkatan laut.
Jiwa bahari yang dimiliki ayah dan kakeknya tersebut kelak berpengaruh besar terhadap kepribadiannya. Meski sebagai seorang wanita, ia tetap ingin menjadi seorang pelaut yang gagah berani seperti ayah dan kakeknya tersebut.

Kisah perjuangan LAKSAMANA MALAHAYATI  dimulai dari sebuah perang di perairan Selat Malaka, yaitu antara armada pasukan Portugis dengan Kesultanan Aceh Darussalam yang dipimpin oleh Sultan Alauddin Riayat Syah al- Mukammil dan dibantu oleh dua orang laksamana.
Pertempuran sengit terjadi di Teluk Haru dan dimenangkan oleh armada Aceh, meski harus kehilangan dua laksamananya dan ribuan prajuritnya yang tewas di medan perang. Salah satu yang tewas tersebut adalah suami Laksamana Keumalahayati sendiri yang menjabat sebagai Komandan Protokol Istana Darud-Dunia. Setelah suaminya meninggal dunia dalam peperangan tersebut, ia berjanji akan menuntut balas dan bertekad meneruskan perjuangan suaminya meski secara sendirian. Untuk memenuhi tujuannya tersebut, Laksamana Keumalahayati meminta kepada Sultan al-Mukammil untuk membentuk armada Aceh yang semua prajuritnya adalah wanita- wanita janda karena suami mereka gugur dalam Perang Teluk Haru.
Permintaan Keumalahayati akhirnya dikabulkan. Ia diserahi tugas memimpin Armada Inong Balee dan diangkat sebagai laksamananya. Ia merupakan wanita Aceh pertama yang berpangkat laksamana (admiral) di Kesultanan Aceh Darussalam. Armada ini awalnya hanya berkekuatan 1000 orang, namun kemudian diperkuat lagi menjadi 2000 orang. Teluk Lamreh Krueng Raya dijadikan sebagai pangkalan militernya. Di sekitar teluk ini, ia membangun Benteng Inong Balee yang letaknya di perbukitan. Setelah memangku jabatan sebagai laksamana, Keumlahayati mengkoordinir pasukannya di laut, mengawasi berbagai pelabuhan-pelabuhan yang berada di bawah penguasaan syahbandar, dan mengawasi kapal-kapal jenis galey milik Kesultanan Aceh Darussalam.
Seorang nahkoda kapal Belanda yang berkebangsaan Inggris, John Davis, mengungkapkan fakta bahwa pada masa kepemimpinan militer Laksanana Keumalahayati, Kesultanan Aceh Darussalam memiliki perlengkapan armada laut yang di antaranya terdiri dari 100 buah kapal (galey) dengan kapasitas penumpang 400-500 orang.
Kisah perjuangan Laksamana Keumalahayati tidak berhenti di sini. Ia pernah terlibat dalam pertempuran melawan kolonialisme Belanda. Ceritanya, pada tanggal 22 Juni 1586, Cornelis de Houtman memimpin pelayaran pertamanya bersama empat buah kapal Belanda dan berlabuh di Pelabuhan Banten. Setelah kembali ke Belanda, pada pelayaran yang kedua, ia memimpin armada dagang Belanda yang juga dilengkapi dengan kapal perang. Hal itu dilakukan untuk menghadapi kontak senjata dengan Kesultanan Aceh Darussalam pada tanggal 21 Juni 1599. Dua buah kapal Belanda bernama de Leeuw dan de Leeuwin yang dipimpin oleh dua orang bersaudara, Cornelis de Houtman dan Frederick de Houtman, berlabuh di ibukota Kesultanan Aceh Darussalam.
Pada awalnya, kedatangan rombongan tersebut mendapat perlakuan yang baik dari pihak kesultanan karena adanya kepentingan hubungan perdagangan. Namun, dalam perkembangan selanjutnya Sultan al-Mukammil tidak senang dengan kehadiran rombongan tersebut dan memerintahkan untuk menyerang orang-orang Belanda yang masih ada di kapal- kapalnya. Ada dugaan bahwa sikap Sultan tersebut banyak dipengaruhi oleh hasutan seseorang berkebangsaan Portugis yang kebetulan menjadi penerjemahnya. Serangan tersebut dipimpin sendiri oleh Laksamana Keumalahayati. Alhasil, Cornelis de Houtman dan beberapa anak buahnya terbunuh, sedangkan Frederick de Houtman tertangkap dan dimasukkan ke dalam penjara (selama 2 tahun). Keberhasilan Laksamana Keumalahayati merupakan sebuah prestasi yang sungguh luar biasa. Keumalahayati ternyata bukan hanya sebagai seorang Laksamana dan Panglima Angkatan Laut Kesultanan Aceh Darussalam, namun ia juga pernah menjabat sebagai Komandan Pasukan Wanita Pengawal Istana. Jabatan ini merupakan tugas kesultanan dalam bidang diplomasi dan ia bertindak sebagai juru runding dalam urusan-urusan luar negeri. Ia sendiri telah menunjukkan bakatnya dan menjalankan tugasnya dengan sebaik-baiknya. Ia memiliki sifat dan karakter yang tegas sekaligus berani dalam menghadapi berbagai momen perundingan, baik dengan Belanda maupun Inggris. Meski begitu, sebagai diplomat yang cerdas, ia dapat bersikap ramah dan luwes dalam melakukan berbagai perundingan. Pada tanggal 21 November 1600, rombongan bangsa Belanda yang dipimpin Paulus van Caerden datang ke Kesultanan Aceh Darussalam. Sebelum memasuki pelabuhan, rombongan ini menenggelamkan sebuah kapal dagang Aceh dengan terlebih dahulu memindahkan segala muatan lada yang ada di dalamnya ke kapal mereka. Setelah itu datang lagi rombongan bangsa Belanda kedua yang dipimpin oleh Laksamana Yacob van Neck. Mereka mendarat di Pelabuhan Aceh pada tanggal 31 Juni 1601.
Mereka memperkenalkan diri sebagai bangsa Belanda yang datang ke Aceh untuk membeli lada. Setelah mengetahui bahwa yang datang adalah bangsa Belanda, Laksamana Keumalahayati langsung memerintahkan anak buahnya untuk menahan mereka. Tindakan tersebut mendapat persetujuan Sultan al- Mukammil karena sebagai ganti rugi atas tindakan rombongan Belanda sebelumnya.
Pada tanggal 23 Agustus 1601, tiba rombongan bangsa Belanda ketiga yang dipimpin oleh Komisaris Gerard de Roy dan Laksamana Laurens Bicker dengan empat buah kapal (Zeelandia, Middelborg, Langhe Bracke, dan Sonne) di Pelabuhan Aceh. Kedatangan mereka memang telah disengaja dan atas perintah Pangeran Maurits. Kedua pimpinan rombongan mendapat perintah untuk memberikan sepucuk surat dan beberapa hadiah kepada Sultan al-Mukammil. Sebelum surat diberikan, sebenarnya telah terjadi perundingan antara Laksamana Keumalahayati dengan dua pimpinan rombongan Belanda. Isi perundingan tersebut adalah terwujudnya perdamaian antara Belanda dan Kesultanan Aceh, dibebaskannya Frederick de Houtman, dan sebagai imbalannya Belanda harus membayar segala kerugian atas dibajaknya kapal Aceh oleh Paulus van Caerden (akhirnya Belanda mau membayar kerugian sebesar 50.000 golden).
Setelah itu hubungan antara Belanda dan Kesultanan Aceh berlangsung cukup baik. Kehadiran bangsa Belanda dapat diterima secara baik di istana kesultanan dan mereka diperbolehkan berdagang di Aceh. Sebagai lanjutan dari hubungan baik antara Belanda dan Kesultanan Aceh, maka diutuslah tiga orang untuk menghadap Pangeran Maurits dan Majelis Wakil Rakyat Belanda. Ketiga orang itu adalah Abdoel Hamid, Sri Muhammad (salah seorang perwira armada laut di bawah Laksamana Keumalahayati), dan Mir Hasan (bangsawan kesultanan).
Meski sedang dilanda perang melawan kolonialisme Spanyol, pihak Belanda menyambut utusan Aceh tersebut dengan upacara kenegaraan.
Peran diplomatik Laksamana Keumalahayati masih berlanjut. Hal ini bermula dari keinginan Inggris untuk menjalin hubungan dagang dengan Kesultanan Aceh Darussalam.
Ratu Elizabeth I (1558-1603 M) mengirim utusan untuk membawa sepucuk suratnya kepada Sultan Aceh al- Mukammil. Rombongan yang dipimpin oleh James Lancaster, seorang perwira dari Angkatan Laut Inggris ini, tiba di Pelabuhan Aceh pada tanggal 6 Juni 1602. Sebelum bertemu dengan Sultan al-Mukammil, Lancaster mengadakan perundingan dengan Laksamana Keumalahayati. Dalam perundingan itu, Lancaster menyampaikan keinginan Inggris untuk menjalin kerjasama dengan Kesultanan Aceh Darussalam. Ia juga berpesan agar Laksamana Keumalahayati memusuhi Portugis dan berbaik hati dengan Inggris. Laksamana Keumalahayati meminta agar keinginan tersebut dibuat secara tertulis dan diatasnamakan Ratu Inggris. Setelah surat tersebut selesai dibuat, Lancaster diperkenankan menghadap Sultan al-Mukammil. LAKSAMANA MALAHAYATI juga berperan besar dalam menyelesaikan intrik kesultanan. Hal ini bermula dari peristiwa penting perihal suksesi kepemimpinan di Kesultanan Aceh Darussalam. Pada tahun 1603 M, Sultan al-Mukammil menempatkan anak lekaki tertuanya sebagai pendamping dirinya. Namun, rupanya putra tersebut berkhianat terhadap ayahnya dan mengangkat dirinya sebagai Sultan Aceh dengan gelar Sultan Ali Riayat Syah (1604-1607 M). Pada masa awal kepemimpinannya, berbagai macam bencana menimpa Kesultanan Aceh Darussalam, seperti kemarau yang berkepanjangan, pertikaian berdarah antar saudara, dan ancaman dari pihak Portugis. Tidak ada keinginan kuat dari Sultan Ali Riayat Syah untuk menyelesaikan masalah tersebut dengan serius. Maka banyak timbul rasa kekecewaan dari punggawa kesultanan, salah satu di antaranya adalah Darmawangsa Tun Pangkat, kemenakannya sendiri. Darmawangsa ditangkap dan dipenjara atas perintah Sultan. Pada bulan Juni 1606, Portugis menyerang Kesultanan Aceh Darussalam yang dipimpin oleh Alfonso de Castro. Ketika itu Darmawangsa masih berada di penjara. Ia memohon kepada Sultan Ali Riayat Syah agar dirinya dapat dibebaskan dan dapat ikut bertempur melawan Portugis. Dengan didukung adanya pemintaan LAKSAMANA MALAHAYATI Darmawangsa akhirnya dapat dibebaskan. Mereka berdua akhirnya berjuang bersama dan dapat menghancurkan pasukan Portugis. Oleh karena Sultan Ali Riayat Syah dianggap banyak kalangan tidak cakap lagi memimpin kesultanan, maka Laksamana Keumalahayati melakukan manuver dengan cara menurunkan Sultan Ali Riayat Syah dari tahta kekuasaan. Darmawangsa akhirnya terpilih sebagai Sultan Aceh dengan gelar Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M). Pada masanya, Kesultanan Aceh Darussalam mencapai zaman keemasan.
Tentu, bukan hanya dengan mengabadikan namanya untuk kapal perang atau jalan. Melainkan juga menerapkan nilai-nilai perjuangannya dalam kehidupan sehari-hari.
 

0 comments:

Post a Comment