Tapaktuan
adalah ibu kota dari Kabupaten Aceh Selatan, Provinsi Aceh. Kota ini
memiliki luas 92,68 km² dengan jumlah penduduk sekira 22,343 jiwa. Saat
Tsunami 2004, kota ini terlindungi Pulau Simeulue sehingga terjangan
ombak yang dahsyat terpecah dan berkurang intensitasnya ketika sampai di
pesisir pantai. Kota Tapaktuan menyimpan cerita menarik tentang legenda
naga dan wisata bahari yang alami belum banyak diketahui dan
dikunjungi.
Topografi kota ini di ketinggian 500 m
dpl membawanya pada iklim tropis basah dengan keindahan alam, gugusan
pantai berkarang, dan teluk yang memesona. Wisata bahari dapat dilakukan
di sini, seperti di Pantai Teluk Tapaktuan dan Pantau Labuhan Haji. Ada
pula tujuan wisata menarik lainnya, yaitu, Wisata Air Dingin, Panorama
Hatta, Pulau Dua, Genting Buaya, Ia Sejuk Panjupian, Air Terjun Twi
Lhok, Batu Berlayar, atau Gua Kalam.
Tapaktuan merupakan kota di pesisir
selatan pantai Aceh yang posisinya strategis dengan pelabuhan alam dan
menjadi basis ekonomi kelautan di Provinsi Aceh. Wilayahnya berbatasan
langsung dengan Kabupaten Aceh Tenggara di utara, di selatan dengan
Samudera Indonesia, di barat dengan Kabupaten Aceh Barat Daya, dan di
timur dengan Kabupaten Singkil dan Kota Subulussalam
.
Tapaktuan dikenal dengan sebutan Kota
Naga dimana berasal dari sebuah Legenda Putri Naga dan Tuan Tapa yang
sudah menjadi sejarah lisan masyarakatnya secara turun temurun. Orang
menyebutkan Aceh Selatan sebagai Kota Naga. Bahkan, saat Anda memasuki
kota ini, sekira seratus meter dari arah timur kantor Bupati Aceh
Selatan maka akan melihat gambar naga tepat di dinding pinggir jalan.
Legenda Naga mengisahkan tentang
sepasang naga jantan dan betina yang mendiami teluk (Tapaktuan).
Keduanya diusir dari negeri Tiongkok karena tidak memiliki anak. Suatu
ketika kedua naga ini mendapati sesosok bayi perempuan terapung di
lautan kemudian dipelihara dengan penuh kasih sayang. Beranjak dewasalah
bayi tersebut menjadi gadis cantik yang disayangi pasangan naga
tersebut.
Suatu ketika munculah sebuah kapal dari
Kerajaan Asralanoka di India Selatan dimana 17 tahun yang lalu rajanya
kehilangan bayi yang hanyut ke laut. Sang raja mengenali gadis itu
sebagai bayinya yang hilang dahulu dan hendak meminta kepada sepasang
naga tersebut untuk mengembalikannya. Akan tetapi, sepasang naga itu
menolak sehingga menimbulkan perkelahian di lautan dan mengusik seorang
petapa yang bertubuh besar dan berdiam di Gua Kalam, yaitu dikenal
sebagai Tuan Tapa ACEH SELATAN
Tuan Tapa yang terusik saat sedang
bertapa segera melerai perkelahian sepasang naga dengan raja dari
Kerajaan Asralanoka. Tuan Tapa meminta sepasang naga untuk mengembalikan
sang gadis kepada orang tuanya. Akan tetapi, kedua naga tersebut
menolak dan malah menantang Tuan Tapa untuk bertarung. Terjadilah
perkelahian di laut dimana kedua naga kalah oleh Tuan Tapa dan gadis pun
dikembalikan kepada orang tuanya. Gadis tersebut kemudian mendapat
julukan sebagai ‘Putri Naga’ dan kembali bersama orang tuanya tetapi
mereka tidak kembali ke Kerajaan Asralanoka melainkan memilih menetap di
pesisirnya. Keberadaan mereka diyakini sebagai cikal bakal masyarakat
Tapaktuan.
Naga jantan mati terbunuh akibat pukulan
tongkat Tuan Tapa. Tubuhnya hancur berserakan dan darah berceceran
menyebar memerahkan tanah, bebatuan, bukit, dan juga air laut. Hati dan
tubuh naga hancur berkeping-keping menjadi bebatuan hitam berbentuk hati
yang saat ini dapat dilihat membekas di sisi pantai (baca: dikenal
sebagai Batu Itam). Darah naga yang membeku menjadi batu (baca: dikenal
sebagai Batu Merah). Begitu pula sisa pijakan kaki Tuan Tapa nampak
terlihat, tongkat dan sorbannya juga turut membatu hitam beberapa ratus
meter dari kedua tapak kaki sang petapa di pinggir pantai.
Sementara itu, sang naga betina yang
melihat pasanganya tewas segera melarikan diri kembali ke negeri
Tiongkok. Sebelumnya, ia mengamuk dengan membelah sebuah pulau menjadi
dua (baca: sekarang Puau Dua) dan memporak-porandakan pulau terbesar
hingga menjadi 99 buah pulau kecil tersebar. (baca: saat ini gugusan
pulau tersebut dikenali sebagai Pulau Banyak di Kabupaten Aceh Singkil).
Setelah kejadian itu, Tuan Tapa sakit,
seminggu kemudian meninggal pada Ramadhan tahun 4 Hijriyah. Jasadnya
makamkan di dekat Gunung Lampu, tepatnya di depan Mesjid Tuo, Gampong
Padang, Kelurahan Padang, Kecamatan Tapaktuan. Hingga saat ini makam
manusia keramat itu sering dikunjungi peziarah dalam dan luar negeri.
Makamnya sendiri pernah mengalami beberapa kali pemugaran semasa
Pemerintahan Hindia Belanda. Pada 2003 Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY)
pernah berziarah ke Makam Tuan Tapa di ACEH SELATAN
Karena
kisah ini pula, orang menyebutkan Aceh Selatan sebagai Kota Naga.
Bahkan, jika memasuki kota Tapaktuan pemerintah Daerah Aceh Selatan
mengukir gambar naga tepat di dinding pinggir jalan. Sekitar seratus
meter dari arah timur kantor Bupati Aceh Selatan.
0 comments:
Post a Comment